BAB  I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
            Kata fiqh jika kita tinjau dari dimensi definisi bahasa yaitu “ paham yang mendalam”  semua kata “faqaha “ yang terdapat dalam al- qur’an mengandung arti ini, namun yang dimaksud paham yang mendalam disini secara hakikat adalah paham tentang persoalan yang berkaitan dengan hukum syara’,  telah kita ketahui dalam arti yang menjadi objek dari fiqh adalah persoalan amaliyah dan furu’iyah yang didasarkan kepada dalil yang tertafsili, dan dalil ini digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal yaitu bagaiman menggunakan sebuah dalil,
            Melalui wacana diatas tentang sekilas seputar fiqh mungkin dapat membantu kita untuk dijadikan intropeksi diri tentang persoalan fiqh, yaitu sampai dimana kedalaman kita mengetahui tentang persoalan hukum dalam syara’, secara tidak sadar tidak banyak orang yang mengabaikan persoalan ini bahkan tidak memiliki pemahaman yang baik seperti persoalan kecil, seperti wudhu’
            Tidak banyak kita jumpai tentang keterpurukan ini, baik waktu sholat dan lain hal yang berkaitan dengan hukum kita temukan, sekarang telah banyak orang yang mencendrungkan dirinya dalam persoalan dunia yang gampang dan mudah tanpa dasar hukum yang benar, bahkan cuma ada yang mengamalkan separuh, hal ini cukup memprihatinkan sekali bila kita renungkan, maka penulis merasa cukup penting untuk mengangkat persoalan fiqh dalam bentuk makalah sebagi penyokong kesadaran tentang pentingnya pemahaman yang mendalam seperti yang penulis singgung diatas,
            Tidak hanya itu yang perlu kita pahami tetapi juga harus kita ketahui apakah fiqh dan ushul fiqh dapat dikaji secara ilmiah yang sesuai kaidah yang telah ada dalam scientific method  itu sendiri, maka point ini mencoba, penulis menyingkap persoalan ini secar ilmiah yang bertujuan bahwa islam juga peduli terhadap perkembangan peradaban keilmuan yang secara flexibility hal ini juga merupakan  ilmu yang patut kita tuntut berdasarkan kesadaran.
B.  Rumusan Masalah
            Sebagai sketsa pembahasan pada makalah ini penulis perlu merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan fiqh dan ushul fiqh sebagai kajian ilmiah yaitu sebagai berikut ;
1.      Apa pengertian fiqh dan ushul fiqh ?
2.      Bagaimana sejarah singkat tentang ushul fiqh ?
3.      Apakah fiqh dan ushul fiqh disiplin ilmu ?
C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui tentang fiqh dan ushul fiqh
2.      Untuk mengetahui sejarah timbulnya ushul fiqh
3.      Untuk mengetahui fiqh dan ushul fiqh sebagai kajian yang ilmiah


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fiqh  dan Ushul Fiqh
Pada point ini penulis akan membahas dua pengertian yaitu fiqh dan Ushul fiqh, untuk pertama penulis akan menjelaskan tentang fiqh terlebih dahulu. Pengetahuan tentang fiqh begitu signifikan bagi kehidupan umat. Hal ini terjadi karena fiqih merupakan piranti pokok yang mengatur secara mendetail perilaku kehidupan umat selama dua puluh empat jam setiap harinya. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa fiqh adalah islam kecil sedang isl;am itu sendiri sebagai fiqh besar dalam konteks bahwa islam sebagai the way of life para pemeliknya.
Secara etimologi fiqh berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarang potensi akal.[1] Pengertian tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur’an , yakni dalam surat  Thaha (20) : 27-28, An- Nisa’ (4) :78, Hud (11) : 91. Dan terdapat pula dalam hadits, seperti sabda Rasulullah SAW: yang Artinya:
  “ Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, dia akan memberikn pemahaman agama yang mendalam kepadanya.
(H.R Al-Bukhori, Muslim, Ahmad Ibnu Hambal, Tirmidzi, dan ibnu Majah).
Adapun secara termenologi fiqh yaitu mengetahui hokum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci.
Mengenai hakikat fiqh terperinci sebagai berikut:
1.      Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hokum syara’ dari setiap pekerjaan mukallaf, baik yang wajib, haram, makruh ,mubah dan sunnah.
2.      Objek kajiannya adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3.      Pengetahuan hukum syari’ah itu didasarkan kepada dalil tafsili,(terperinci)
4.      Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’ammul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5.      Merupakan seperangkat cara kerja sebagai bentuk praktis dan cara berfikir taksonomis dan logis untuk memahami al-qur’an dan hadits.[2]
Rasyid Ridha (1979: 23)    ” mengertikan fiqh sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai paham yang mendalam tentang hakikat-hakikat, dengannya seseorang yang memiliki pengetahuan akan menjadi bijaksana, mengamalkan dan berpendirian.
Pengertian fiqh tampak lebih luas dari sekedar paham. Ia berarti memahami kehendak pembicara sebagaimana yang diucapkannya, yakni paham dan mengerti kehendak Allah. Namun karena akal manusia tidak sama, maka memahami kemampuan dan kehendak wahyu allah pun berbeda satu sama lain. Sebagaimana halnya suatu ilmu memiliki tingkat kebenaran yang relative (dzanny). Dari sisi ini para sebagian ulama mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa hokum dapat terjadi karena perubhan dan perbedaan waktu, ruang kondisi, niat dan manfaat. Dari sisi ini pula dapat dipahami dipahami bahwa berlakunya fiqh dalam pengeetian ijtihad sangat local.
    Ada pendapat yang mengatakan bahwa “fiqhu” atau paham tidak sama dengan “ilmu” walaupun wazan (timbangan) lafadnya adalah sama. Meskipun belum menjadi ilmu, paham adalah pikiran yang baik dari kesiapannya menangkap apa yang dituntut. Ilmu bukanlah dalam bentuk zdanni seperti faham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang hukum yang dzanni dalam dirimya.
Dari point ini bisa dipahami bahwa pada awal perkembangan islam, kata fiqh belum bermakana spesifik sebagai ilmu hukum  islam yang mengatur pelaksanaan ibadah-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas hokum-hukum muamalat. Hal ini bisa dimaklimi mengingat pada waktu itu para sahabat nabi tidak atau belum membutuhkan suatu piranti ilmu tertentu untuk mengatur kehidupan masyarakat.mereka tinggal melihat dan mencontoh perilaku sehari-hari kehidupan Nabi, sebab pada beliaulah terletak wujud paling ideal Islam.


Hal kedua adalah penulis akan menjelaskan pengertian Ushul fiqh. Ushul fiqh secara Etimologis, Ushul fiqh terdiri dari dua kata  yaitu Ushul dan al-fiqh. Yang berasal dari bahasa arab dan masing-masing kata itu mempunyai arti tersendiri.
Kata ushul merupakan bentuk jamak(plural) daari kata al-Ashlu yang berarti dasar atau landasan tempat membangun sesuatu. Juga bisa berarti sesuatu yang mempunyai cabang[3]. Sedangkan al-ashlu secara termenologis mengandung pengertian yang bermacam-macam, yaitu: berarti dalil, kaidah umum, pendapat yang lebih unggul atau bermakna asal yang digunakan untuk menganalogikan sesuatu serta  bisa berarti keadaan sesuatu yang diyakini manakala terjadi keraguan.[4]
Adapun al-fiqh (fiqh) secara bahasa yaitu adalah sebuah pemahaman. Sedangkan secara istilah mempunyai arti tentang pengetahuan hokum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang diambil dari satu per satu dalil.
Sedangkan Ushul Fiqh secara terrmenologis, yaitu bertitik tolak dari konsep disiplin ilmu, Ushul fiqh dipandang sebagai satu kesatuan, tidak melihat kepada pengertian satu per  satu kata yang membentuknya. Menurut Abu Zahrah, “ ushul Fiqh adalah suatu ilmu  tentang kaidah-kaidah metodologis yang digunakan untuk mengistimbatkan (menarik) hukum dari dalil-dalilnya satu per satu.[5] 
Penjelasan diatas memberikan ilustrasi bahwa yang menjadi objek bahasan Ushul fiqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan suatu hokum atau dengan kata lain bagaimana cara dalil itu menunjukkan suatu hokum dan sebaliknya bagaimana suatu hokum ditetapkan berdasarkan dalil-dalil itu.
Dari definisi diatas penulis menggambarkan bahwa Ushul Fiqh merupakan ilmu yang mengkaji dalil-dalil hukum yang bersifat tekstual untuk diambil substansinya dan kemudian di aplikasikan pada permasalahan kontekstual.


B.   Sejarah Singkat Tentang Ushul Fiqh
 Pada zaman nabi SAW semua persoalan yang dihadapi masyarakat kala itu, selalu dikonsultasikan pada baginda Rasulullah SAW guna mencari solusinya, kemudian dia  memutuskan suatu hukum dengan menunggu turunnya wahyu dan jika wahyu tidak datang maka beliau memutuskan hukum berdasarkan pendapatnya yang dikenal sebagai hadits. permasalahan hukum masih berada dibawah bimbingan  allah SWT, yakni lewat rosulullah SAW dalam memberikan arahan umatnya, maupun menyelesaikan masalah ataupun pemecahan masalah yang telah dihadapi umat pada masanya. Dalam memberikan bimbingan ini Allah mengutus malaikat jibril, terkadang malaikat jibril datang membawa wahyu tanpa didahului oleh adanya masalah atau sebab khusus,tetapi terkadang juga wahyu yang dibawa oleh malaikat jibril tersebut kadang kala didahului masalah.
Memasuki masa Sahabat, persoalan-persoalan hukum semakin kompleks setelah semakin luasnya daerah kekuasaan islam dan terjadinya akulturasi antara masyarakat Arab. Oleh karenanya, fiqh sebagai produk ijtihad mulai dari munculnya para sahabat. Meskipun secara historis fiqh  lebih dulu dikenal dan dibukukan dibandingkan Ushul fiqh, dalam praktiknya sebenarnya kedua ilmu tersebut muncul secara bersamaan. Fiqh tidak mungkin terwujud tanpa melalui metode istinbat, dan metode istimbat itulah sebagai inti dari ushul fiqh.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah masyarakat arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabanya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahsa arab dikalangan sebagian umat. Disisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum  pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum fiqihnya.
Pada masa tabi’in metode istimbat semakin jelas dan meluas dimana para tabi’in mulai terpencar dibeberapa daerah islam serta melakukan ijtihad dalam rangka merespon berbagai persoalan baru yang dihadapinya sesuai dengan lingkungan dimana mereka berada.
Era selanjutnya adalah zaman para imam mujtahid, dimana metode ijtihad menjadi sangat jelas disetiap pengambilan hokum. Imam Abu Hanifah  (w. 150 H), pendiri madzhab Hanafi, menjelaskan dasr hirarki dasar istinbatnya dengan berpedoman pada kitabullah, sunnah rasululloh dan fatwa yang disepakati oleh para sahabat (fatawa al-shahabah). Imam Hanafi juga terkenal sering melakukan qiyas dan istihsan dalam ijtihadnya.  Dia tidak berpedoman kepada tabi’in karna dia sejajar dengan mereka. Sedngkan pendiri madzhab Maliki, Imam Malik (w. 178 H ), sisamping  berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah, mendasarkan ijtihadnya kepada praktik penduduk Madinah. Dalam melakukan ijtihad , Imam Malik dikenal banyak melakukannya dengan pendekatan maslahah.
Perbedaan penggunaan pendekatan itu menghasilkan pendapat serta hukum  yang saling berbeda  tanpa didasarkan kepada suatu teori istimbat, yang kemudian menimbulkan kekhawatiran dikalangan para uama’. Akhirnya timbullah fikiran untuk membuat aturan standar dalam melakukan ijtihad, suatu aturan yang menjelaskan metode istimbat hukum baik secara naqli maupun aqli.
C.    Fiqh dan Ushul fiqh sebagai disiplin ilmu
Pada point ini bisa dikatakan fase uji coba terhadap keilmiahan ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh, yang mana pada point ini penulis mencoba merasionalkan konsep-konsep yang berkaitan dengan hal diatas dan membuktikan secara realistis dan memenuhi syarat-syarat ilmu yang telah ada.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan (khususnya ilmu agama islam, fiqh berkembang menjadi disiplin ilmu (hukum islam), mencakup hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan syari’ah, yang penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman, dan ijtihad.
Selanjutnya Al-Jurjaniy mengemukakan bahwa Fiqh dan Ushul Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan melalui pemikiran (ijtihad) dan memerlukan wawasan serta perenungan. Oleh karena itu, Allah tidak bisa disebut sebagai faqih (ahli dalam fiqh), karena bagi-Nya segala sesuatu telah jelas. Sedangkan faqih perlu menjelaskan maksud dan kehendak Allah sebagai pembuat hukum atau syari’ah (al-Syari’). Pada saat ini, orang yang ahli tentang fiqh disebut dengan faqih atau dengan menggunakan jamaknya fuqaha. Fuqaha termasuk dalam kategori ulama, meskipun tidak setiap ulama adalah fuqaha. Selanjutnya ilmu fiqh disebut pula dengan ilmu furu’, ilmu hal, ilmu al-halal wa al-haram, dan ilmu syar’I wa al-ahkam (A. Djazuli, 1993: 16)    
Selain difinisi ilmu fiqh dari al-Jurjaniy dari madzhab Hanafi, ada juga yang mendifinisikan ilmu fiqh sebagai ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1963: 17). Tentu saja definisi ini menunjukan pengertian yang luas, tercakup didalamnya  segala aspek yang berkaitan dengan aqidah.
Secara metodologi keilmuan, fiqh memiliki realitas sosial yang tampak dan dalam membantu keberlangsungan hidup beragama, seperti contoh berwudhu’ dalam kajian rasiaonalis tampak tidak berguna, tetapi dalam pengamalan dan filosofis dari anjuran syara’ memiliki keajaiban yang mampu membangun realitas seperti membasuh telinga yang pada hakikatnya kontraksi penyucian, dengan do’a yang dibaca membuat telinga terjaga dari kemaksiatan, dan juga pada persoalan lain seperti masa iddah pada seorang wanita yang jumhur ulama’ menyatakan harus tiga kali sucian, hal ini juga memiliki makna menjaga kontaminasi keturunan dari suami sebelumnya secara biologis, dan ranah ini juga bukti terungkapnya fiqh dalam ranah rasio yang jadi tolak ukur ilmu secara umum,
Fiqh dan ilmu ushul fiqh secara kajian keilmuan memiliki nama, yang juga merupakan bentuk pengakuan dan persetujuan bahwa fiqh merupakan ilmu yang memiliki metode, dan secara tidak langsung dari beralihnya peradaban dari dulu sampai sekarang fiqh tetap menjadi bahan ilmu dalam hukum syara’, fiqh ataupun ushul fiqh tidak dimiliki oleh agama-agama selain agama islam kita,
Perlunya seseorang terhadap paham(fiqh), dalam objek independen fiqh itu sendiri juga menjadi indikasi penting pula terhadap kebenaran ilmu fiqh.  dan juga masuknya ilmu fiqh dalam ranah sosial lebih-lebih pada kesehatan membuat seseorang terasa meyakini kebenaran fiqh. Contoh konkrit pada persoalan makanan yang didapat dari hasil mencuri, dikaitkan dengan sabda nabiyang inti pokonya akan mengelapkan hati, dan apabila hati telah gelap maka dampaknya akan mengarah pada perangai sehari-hari dalam interaksi.
            Hal lain mungkin sebelumnya belum kita ketahui kasus haramnya babi dari dimensi biologisnya ternyata, babi diharamkan juga ada keuntungan bagi kesehatan, karena daging babi mengandun gizi tinggi lebih tinggi dari gizi yang menjadi kebutuhan manusia semestinya, sehingga bila dikonsumsi oleh manusia akan menyebabkan darah tinggi dan stroke, terdapat keindahan yang tersembunyi dari itu semua.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah kami sajikan diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh dan Ushul fiqh merupakan sebuah ilmu yang turun-temurun . Dan hal tersebut tetap dipegang teguh dengan rasa cinta yang tulus dan ikhlas, sedangakan Fiqh  adalah sebuah ilmu yang memiliki cakupan yang cukup luas (mother of science), sehingga agama juga menjadi sub menu dalam kajiannya.      
           Hubungan antara  Fiqh dan Ushul fiqh merupakan satuan makna yang terpisah secara bahasa,  yang sebenarnya tidak memilki pertentangan, bahkan semuanya mendukung dalam menghadirkan  Ultimate reality, sehingga keragu-raguan akan hilang secara perlahan dengan pemahaman tanpa hijab tentang agama yang dalam filsafat adalah sebuah keindahan murni.
         Dengan adanya keterkaitan semacam ini, bila kita mengikuti amar Kalamullah yaitu  Tafakkaru fii kholqillah akan semakin menanamkan dan merekonstruksi kembli nilai-nilai serta paradigma yang hampir terkikis oleh  modernization.

B.  Saran-saran
Bila Fiqh dan Ushul fiqh merupakan sebuah ilmu berarti telah jelas juga bahwa al-qur’an adalah cahaya yang akan menerangi kita dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu kita lestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok ajaran al-qur’an.
Pada point di atas penyusun mengharapkan pada para pembaca       untuk senantiasa meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca dan membaca, karena disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan, membaca juga merupakan terapi  atas keterpurukan yang kita sandang saat ini.
Bagi para pembaca umumnya, jangan merasa malas untuk membaca, apapun itu, karena membaca adalah pengiring pertama menuju ridho-Nya.

DAFTAR PUSTASKA
Ishomuddin, Abbadi, H. Ushul Fiqh, pengantar Teori Hukum Islam, cet, I,       Pamekasan Press, 2010.
Syarifuddin, Amir, Prof, Dr. Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta : kencana, 2003.
Supriyatni, Renny, Dr, Hj, PengantarHukum Islam, Maret 2011.
Amiruddin, Zen, Drs, H, Msi, Ushul Fiqh, Lembaga kajian Agama & Filsafat, Surabaya  (el-kaf), 2006.
Abidin, Zainal, M.EI, Fiqh Kontemporer, cet,1, Pamekasan press,2010.
Syafe’i, Rahmat, Prof, Dr, M.A. Ushul Fiqh, Bandung Pustaka Setia.
Nur, Saifudin, M,Ag, Ilmu Fiqh, cet, I, Buahbatu,Bandung, Maret 2007.
Djatnika,Rachmat, Prof, Dr, Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam,Kelembagaan Agama Islam Depag, 1986.                                   





[1] CD kutub al-Tis’ah, al-Bukhari, hadith no:69
[2] Team Dirasah Islamiah,Ibadah dan Syari’ah  (Jakarta:UIJ, 1978), 7.
[3] Badruddin  Muhammad Bin Bahadir al-zarkasyi, al-bahru al-Muhit Fi Ushul al-Fiqh (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,2000),cet,I,h.10
[4] Abdul Hamid Hakim, al-Bayan (Jakarta:Sa’adiyah putra) h,3.
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Dar al-Fikr al-Arabi) h, 7.
Read More >>

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah merupakan salah satu dasar atau bekal manusia dalam menjalani hidup yang lebih layak di masa mendatang. karena pendidikan dapat menentukan arah dan impian bahkan segala bentuk keinginan hidup.
Hal ini menuntut kita sebagai kholifah di muka bumi ini untuk memberikan yang terbaik dalam melaksanakan tanggung jawab sehari-hari. Oleh karena itu, pembahasan ini akan menggunakan pendekatan ketuhanan dengan cara merujuk pad a teks-teks agama melalui ilmu tafsir.
Saat ini kita ditantang untuk belajar dan belajar sebab semakin kita tahu justru semakin banyak yang kita tidak tahu. perkembangan bukan hitungan hari tetapi sudah bertolak ukur dengan hitungan detik. dari waktu detik ke detik berikutnya sudah menghasilkan berbagai daya kreasi penemuan-penemuan di berbagai bidang. mengingat hal itu, maka mari kita memanfaatkan kesempatan yang tersedia, bukan kesempatan yang memanfaatkan kita. sebab saat ini telah dinyatakan dalam prakteknya bahwa manusia adalah subyeknya dan kualitasnya adalah kunci, bukan soal kuantitas lagi.
Seiring dengan lajunya perkembangan zaman manusia harus mencapai dualisme pengetahuan dalam arti bagaimana manusia mampu mendalami IMTAK dan IPTEK secara bersamaan. Dari hal tersebut, makalah ilmu tafsir sederhana ini dapat menambah wawasan dan  memberikan makna hidup nantinya.



BAB III
PEMBAHASAN

A. PENTINGNYA  PENDIDIKAN
Firman Allah dalam surat At-Taubah Ayat 122 sebagai berikut:
* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ
Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Laula (لول): Kata-kata yang berarti dan dorongan melakukan sesuatu yang disebutkan sesudah kata-kata tersebut, apabila hal itu terjadi di masa yang akan datang. Tapi laula (لول) juga berarti kecaman atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan sesudah kata itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila hal yang dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa juga laula (لول) itu berarti perintah mengerjakannya.[1]
Dalam ayat ini, Allah swt. menerangkan bahwa tidak perlu semua orang mukmin berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.
Orang-orang yang berjuang di bidang pengetahuan, oleh agama Islam disamakan nilainya dengan orang-orang yang berjuang di medan perang. Dalam hal ini Rasulullah saw. telah bersabda:
يوزن يوم القيامة مداد العلماء بدم الشهداء
Artinya:
Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang).
Tugas ulama umat Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut adalah merupakan tugas umat dan tugas setiap pribadi muslim sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah saw. telah bersabda;
بلغوا عني ولو آية
Artinya:
Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) daripadaku walaupun hanya satu ayat Alquran saja.
Akan tetapi tentu saja tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk bertekun menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sebagiannya sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islam dengan cara atau metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula.
Apabila umat Islam telah memahami ajaran-ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat.
Di samping itu perlu diingat, bahwa apabila umat Islam menghadapi peperangan besar yang memerlukan tenaga manusia yang banyak, maka dalam hal ini seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus kembali kepada tugas semula, kecuali sejumlah orang yang diberi tugas khusus untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam dinas kemiliteran dan kepolisian.
Oleh karena ayat ini telah menetapkan bahwa fungsi ilmu tersebut adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidaklah dapat dibenarkan bila ada orang-orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuannya hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apalagi untuk menggunakan ilmu pengetahuan sebagai kebanggaan dan kesombongan diri terhadap golongan yang belum menerima pengetahuan.
Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan haruslah menjadi mercusuar bagi umatnya. Ia harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama.
Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.
Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan mencerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban adalah wajib pula hukumnya. Dalam hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi:
كل ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Artinya:
Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya.
Karena pentingnya fungsi ilmu dan para sarjana, maka beberapa negara Islam membebaskan para ulama (sarjana) dan mahasiswa pada perguruan agama dari wajib militer agar pengajaran dan pengembangan ilmu senantiasa dapat berjalan dengan lancar, kecuali bila negara sedang menghadapi bahaya besar yang harus dihadapi oleh segala lapisan masyarakat.[2]

Adapun hal-hal yang menjelaskan tentang orang-orang yang berilmu dan beriman kepada kehidupan di akhirat sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
tA$s%ur šúïÏ%©!$# (#qè?ré& zNù=Ïèø9$# öNà6n=÷ƒur Ü>#uqrO «!$# ׎öyz ô`yJÏj9 šÆtB#uä Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ Ÿwur !$yg9¤)n=ムžwÎ) šcrçŽÉ9»¢Á9$# ÇÑÉÈ
Artinya : Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar".

Ayat di atas mengisahkan orang-orang yang berilmu dan beriman kepada kehidupan di akhirat, menegur orang-orang yang keduniaan itu; "Kecelakaan yang besarlah bagi kamu karena kata-kata lamunan yang kamu ucapkan itu. tidakkah kamu ketahui bahwa pahala Allah kelak di akhirat bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal sholeh adalah lebih baik dari pada apa yang diperolehnya."[3]



B. PENTINGNYA PENDIDIKAN  AHKLAQ
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Larangan berbisik-bisik yang diuraikan oleh ayat-ayat di atas, merupakan salah satu pendikan akhlak, guna membina hubungan harmonis antara sesama manusia, Ayat di atas memberi tuntunan bagaimana menjalin hubungan harmonis dalam satu majlis. Allah berfirman : hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu oleh siapapun: "berlapang-lapanglah yakni berupaya dengan sungguh-sumgguh walau dengan memaksakan diri untuk memberi tempat bagi mereka. Jika kamu melaksanakan hak tersebut, niscaya Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu.
Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari jum'at. Ketika itu Rasulullah SAW  berada di satu tempat yang sempit, dan telah menjadi kebiasaan beliau bersama para sehabatnya dalam perang badar. Ketika majlis tengah berlangsung, beberapa orang di antara para sehabat-sehabat yang lain dan mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga di jawab. Namun mereka tidak memberi tempat. Para sehabat-sehabat itu terus saja berdiri, maka Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada sehabat-sehabat yang lainnya yang tidak terlibat dalam peperangan badra guna mengambil tempat lain agar sehabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi Muhammad SAW.
Kata (تفسحوا) fassahu dan (إفسحوا) ifsahu terambil dari kata (فسح) fasaha yakni lapang. Sedangkan kata (انشزوا) insyuzu terambil dari (نشوز) nusyuzun yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ketempat yang tinggi  yang dimaksud di sini pindah ketempat yang lain untuk memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada ditempat yang wajar, atau bangkit melakukan suatu aktifitas positif.
Kata (مجالس) majalis adalah entuk jamak dari kata (مجلس) majlis. Yang berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad SAW ketika memberi tuntunan kepada para umat dan para sehabatnya. Maksud ayat ini adalah mengalah kepada orang-orang yang di hormati atau yang lemah.
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yang lebih tinggi dari yang sekedar beriman. Tidak disebutkannya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperanan besar  dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu sendiri.
Tentu saja yang dimaksud  dengan kata (الذين اوتوالعلم) adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengatahuan. Berarti ayat di atas membagi kaum beriman pada dua kolompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengatahuan. Derajat kolompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.[4]
Melihat hal tersetbut sudah jelas bahwa pendidikan akhlah sangat di utamakan dalam islam karena akhlaq yang baik akan membawa peradaban yang baik. Sejarah merukakan bukti kongkrit bahwa manusia memang terbentuk mulai dari tidak tau menjadi tau. Baginya ilmu merupakan satu-satunya harapan yang baru untuk merubah peradaban yang  sesat menuju peradaban yang penduh dengan kemajuan.
ö@è% `tB >§ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur È@è% ª!$# 4 ö@è% Mè?õsƒªB$$sùr& `ÏiB ÿ¾ÏmÏRrߊ uä!$uŠÏ9÷rr& Ÿw tbqä3Î=ôJtƒ öNÎgÅ¡àÿRL{ $YèøÿtR Ÿwur #uŽŸÑ 4 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o 4yJôãF{$# 玍ÅÁt7ø9$#ur ÷Pr& ö@yd ÈqtGó¡n@ àM»uHä>à9$# âqZ9$#ur 3 ÷Pr& (#qè=yèy_ ¬! uä!%x.uŽà° (#qà)n=yz ¾ÏmÉ)ù=yÜx. tmt6»t±tFsù ß,ù=sƒø:$# öNÍköŽn=tã 4 È@è% ª!$# ß,Î=»yz Èe@ä. &äóÓx« uqèdur ßÏnºuqø9$# ㍻£gs)ø9$# ÇÊÏÈ
Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah". Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa".
Ayat di atas menggunakan bentuk jamak untuk kata (ضللمات) dhulumat aneka gelap gulita, sedang pada kata (نور) nur terang benderang menggunakan bentuk tunggal, yang keduanya merupakan bentuk masdar, ini karena kegelapan serta kesesatan bermacam-macam, berbeda dengan cahaya yang hanya sumber dari Allah semata. "Siapa yang tidak dianugerahi Allah, maka dia tidak lagi dapat memperolehnya dari siapapun."
Ataukah mereka yang mempersekutukan Allah itu, terbawa oleh kesesatannya sehingga menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu yang telah mencipta seperti ciptaannya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka dan dengan demikian berhala-berhala itu pun wajar disembah sebagaiman Allah disembah? Katakanlah wahai Muhammad: apapun yang mereka persekutukan dengan Allah, berhala atau selainnya, kesemuanya tidak dapat mencipta sesuatu. Allah adalah pencipta segala sesuatu, tidak ada yang ujud kecuali dia penciptanya dan dialah tuhan yang maha Esa. Dia juga maha perkasa sehingga tidak ada sesuatu apapun yang tidak dikendalikan-Nya.
÷Pr& (#qè=yèy_ ¬! uä!%x.uŽà° (#qà)n=yz ¾ÏmÉ)ù=yÜx.
"ataukah mereka menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu yang telah mencipta seperti ciptaan-Nya" tidak ada lagi kemungkinan lain yang menjadikan mereka mempersekutukan  Allah kecuali jika mereka percaya bahwa ada pencipta selain Allah. Kata (قل) adalah bentuk penegasan bahwa apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Ini bukan bersumber dari diri pribadi beliau sendiri tetapi dari Allah SWT. Dan juga memberi kesan bahwa orang-orang kafir yang mempersekutukan Allah itu, tidak wajar mendapat penghormatan dari Allah.
Kata (القهار) terambul dari akar kata (قهر) yang dari arti bahasa adakah menjinakkkan, menundukkan untuk mencapai tujuan. Allah swt. Menjinakkan mereka yang menentang-Nya dengan jalan memaparkan bukti-nukti keesaa-Nya serta mengalahkan makhluk seluruhnya dengan mencabut nyawanya. Demikian Az-zajjaj pakar bahasa dalam karyanya tafsir asma' Al-Husna. Dalam buku menyingkap tabir ilahi, beliau menyatakan bahwa Allah sebagai Al-Qohhar adalah dia yang membungkan orang-orang kafir dengan kejelasan tanda-tanda kebesaran-Nya, menjinakkkan hati para pencinta-Nya sehingga bergembira menanti di depan pintu rahmat-Nya, menggabungkan kering dan basah, mengalahkan besi dengan api, memadamkan api dengan air, menghilangkan gelap dengan terang, menjeritkan manusia dengan kelaparan, tidak memberdayakannya dengan tidur dan ngantuk,  jadi al-Qahhar, yang menegaskan bahwa hanya kepada Allahlah sujud segala apa yang di langit dan di bumi, dengan suka rela ataupun terpaksa dan bayang-bayangnya di waktu pagi dan petamg hari.[5]
maka dengan ini jelaslah sudah bahwa pendidikan merupakan hal yang terpenting bagi kehidupan manusia, tanpa-nya, manusia akan berada dalam kesesatan yang nyata dan islam sangat menganjurkan bahkan mewajibkan  ummatnya untuk menuntut ilmu mulai dari saat manusia itu lahir sampai ia sampai keliang lahat karena hanya pengetahuanlah yang mampu mebedakan mana yang haq dan yang batil.


BABIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai akhir dari  makakalah ini maka kami dapat menyimpulkannya sebagai berikut:
  1. Pengatahuan adalah  salah satu bekal manusia dalam menjalani kehidupan yang lebih baik di masa mendatang serta sebagai tuntunan manusia untuk melakukan hal-hal positif dan bermakna pada apa yang dihadapinya. Hal ini menjadi ajang kompetensi yang sangat berharga untuk mengatahui seberapa dalam ilmu yang kita miliki.
  2. Sejarah merukakan bukti kongkrit bahwa manusia memang terbentuk mulai dari tidak tau menjadi tau. Baginya ilmu merupakan satu-satunya harapan yang baru untuk merubah peradaban yang  sesat menuju peradaban yang penduh dengan kemajuan  
  3. Pengatahuanlah satu-satunya jalan yang mampu menahan  hantaman badai, menjauhkan dari kezdaliman, dan pengatahuan dapat membentuk konsistensi kometmen diri dalam melakukan tanggung jawab sebagai kholifah di muka bumi ini.
  4. maka dengan ini jelaslah sudah bahwa pendidikan merupakan hal yang terpanting bagi kehidupan manusia, tanpaknya manusia akan berada dalam kesesatan yang nyata dan islam sangat menganjurkan bahkan mewajibkan  ummatnya untuk menuntut ilmu mulai dari saat manusia itu lahir sampai ia sampai keliang lahat.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghiy, Ahmad Musthofa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: Toha Putra, 1987

Bahreisy, H. Salim, dan H. Saud Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya Bina Ilmu. 1990.
Departemen Agama RI, Tafsir Al-quran. Balai pustaka bandung 2001



[1]Al-Maraghiy, Ahmad Musthofa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: Toha Putra, 1987, hal.,  83-84
[2] Departemen Agama RI, Tafsir Al-quran. Balai pustaka bandung 2001 hal : 234
[3] H. Salim Bahreisy, H. Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1990, hlm., 183-184.
[4] Al-Maraghiy, Ahmad Musthofa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: Toha Putra, 1987
[5] Bahreisy, H. Salim, dan H. Saud Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya Bina Ilmu. 1990.
Read More >>