BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tujuan pendidikan ialah memanusiakan manusia. Bahasa Paulo Friere tersebut kiranya pantas untuk memulai bahasan pendidikan tanpa kekerasan dalam bab berikutnya. Konsep Paulo Freire di atas merupakan bagian dari ideologi pendidikan kritis radikal.
Kaitannya dengan pendidikan tanpa kekerasan yang akan dibahas dalam makalah ini, kita ketahui bersama bahwa kekerasan dalam pendidikan bertolak belakang dengan tujuan pendidikan yang digagas oleh Paulo Freire.
Fakta di lapangan, hingga kini kekerasan dalam dunia pendidikan tidak bisa betul-betul dihilangkan dari corak pendidikan kita. Ironis memang, ketika pendidikan sejatinya merupakan wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang paripurna justru mematikan kreativitas dan potensi peserta didik sebab kekerasan yang menimpa dirinya.
Salah satu konsep yang ditawarkan dalam makalah ini ialah pendidikan damai. Konsep dalam pendidikan damai tersebut diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi kekerasan dalam pendidikan sehingga tidak menjadi fenomena yang berkelanjutan di kemudian hari.

B.     Rumusan Masalah
1.      Seperti apakah kekerasan yang dalam pendidikan ?
2.      Bagaimanakah konsep pendidikan damai guna menwujudkan pendidikan tanpa kekerasan ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mendeskripsikan kekerasan yang terjadi dalam pendidikan.
2.      Untuk mengetahui konsep pendidikan pendidikan damai guna merealisasikan pendidikan tanpa kekerasan.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kekerasan dalam Pendidikan
Menurut Assegaf, kekerasan dalam pendidikan didefinisikan sebagai sikap agresif pelaku yang melebihi kapasitas kewenangan-kewenangannya dan menimbulkan pelanggaran hak bagi si korban.[1] Jika berbicara sikap terhadap seseorang, maka hal itu terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Perilaku yang berkategori agresif dan melanggar HAM maka itu dapat dikategorikan sebagai perilaku kekerasan.
Kekerasan dapat terjadi di mana saja. Bahkan di lembaga yang sebenarnya ada untuk mengembangkan potensi manusia seperti pendidikan.
Dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) pasal 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan.[2] yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, kemampuan, ras, budaya, bahkan agama. Namun dalam prakteknya, masih saja ada deskriminasi terhadap mereka yang dianggap tidak berhak memperoleh pendidikan yang layak. Tak jarang deskriminasi yang  terjadi, dalam bentuk kekerasan.
Di dalam pendidikan, sering kali ada bentuk perhargaan dan hukuman. Siapa yang benar dan melakukan kebaikan akan mendapat hadiah atau penghargaan. Sebaliknya siapa yang salah dan melakukan tindakan yang dilarang akan mendapat hukuman.[3]
Konsep hukuman dan ganjaran saat ini dirasa kurang pas lagi untuk diterapkan dalam praktek pendidikan. Hal itu disebabkan hukuman utamanya sangat berdampak negatif terhadap psikologi peserta didik. Apalagi itu hukuman tersebut berupa kekerasan baik itu fisik maupun psikologis.
Menurut Clanzic, hukuman dan ganjaran dalam dunia pendidikan pada dasarnya mematikan inisiatif belajar, mempengaruhi jiwa anak, dan karenanya hukuman dan ganjaran adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan menimbulkan permusuhan. [4]
Kekerasan dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini  menjadi isu hangat di kalangan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, tindak kekerasan kerap kali terjadi ibarat jamur di musim hujan. Tumbuhya tidak dapat dikendalikan. Adalah sebuah ironi, ketika pendidikan yang seharusnya mampu memberikan pencerahan terhadap anak bangsa justru menjadi hal yang bagi kebanyakan peserta didik sangat menakutkan.
Ada beberapa jenis kekerasan yang kerap kali terjadi dalam dunia pendidikan. Jenis-jenis kekerasan tersebut tentu member noda hitam tersendiri bagi dunia pendidikan. Karena kekerasan yang terjadi tersebut memberi dampak ke berbagai aspek kehidupan. Mulai dari kehidupan sosial, budaya, hukum, bahkan dampak psikologis.
Menurut Nurani Soyomukti ada empat jenis kekerasan yang kerap kali terjadi dalam dunia pendidikan, sebagai berikut:
1.      Kekerasan antar pelajar dalam lembaga pendidikan yang sama.[5]
Kekerasan antar pelajar sudah menjadi kejadian yang biasa karena seringnya terjadi dan beragamnya bentuk kekerasan. Ragam tersebut berupa kekerasan fisik seperti memukul, memeras dan merusak barang milik sesama pelajarnya, atau berupa kekerasan mental seperti mencaci, menghina, meremehkan, dan sebagainya.
2.      Perpeloncoan dan hubungan senioritas-junioritas.[6]
Perpeloncoan sering kali terjadi pada siswa/mahasiswa baru di suatu lembaga pendidikan. Mereka (peserta didik baru) sering kali diperlakukan semena-mena oleh kakak seniornya. Dengan alasan untuk melatih mental, siswa/mahasiswa baru diperlakukan secara kasar bahkan beberapa kasus sampai terjadi kontak fisik. Sebagian lagi, prilaku perpeloncoan ini hingga menyebabkan kematian terhadap peserta didik baru.
Hal ini sudah menjadi ironi yang mana kegiatan sejenis orientasi almamater justru menjadi lahan perpeloncoan yang berujung pada tindak kekerasan.
3.      Tawuran pelajar dan mahasiswa.[7]
Tawuran pelajar sudah menjadi hal yang dianggap biasa terjadi di kalangan pelajar, utamanya tingkat SLTA. Tawuran pelajar ini kerap kali merusak sistem sosial karena juga berdampak pada masyarakat sekitar tempat tawuran.
Jika tawuran terjadi di jalan raya, maka hal ini sanagat mengganggu terhadap pengguna jalan. Juga bila terjadi di sekitar pemukiman masyarakat, akan sangat mengganggu terhadap kenyamanan masyarakat sekitar.
Tawuran juga kerap kali menyebabkan pelakunya membuat masa depannya sendiri suram. Ini disebabkan tawuran melibatkan obat-obatan terlarang untuk memunculkan keberanian. Penggunaan psikotropika secara ilegal tentunya akan melibatkan aparat polisi jika hal ini terungkap.
Tawuran kemudian tidak hanya berdampak secara sosial dan psikologis, tetapi juga menyebakan pelakunya mengancam  masa depan dirinya.
4.      Kekerasan pendidik pada siswa.[8]
Kasus kekerasan pendidik kepada siswa ini menjadi ironi yang patut disesalkan oleh seluruh elemen masyarakat pendidikan, baik itu pemerintah, siswa, orang tua siswa, bahkan pendidik itu sendiri.
Kekerasan yang dilakukan pendidik menunjukkan noda hitam pendidikan di Indonesia khususnya. Karena pendidikan yang harapannya memberi fasilitas kepada peserta didik untuk menjadi manusia yang lebih baik justru memberi trauma psikologis dalam mental peserta didik.
Trauma mental peserta didik akibat kekerasan pendidik memberi dampak psikologis yang cukup signifikan terhadap motivasi siswa untuk bersekolah. Bisa saja akibat kekerasan tersebut menyebabkan siswa enggan untuk masuk sekolah.
5.      Pelecehan seksual di sekolah.[9]
Pelecehan seksual bisa terjadi sesama peserta didik maupun oleh pendidik terhadap peserta didik. Seks merupakan naluri manusia. Pelecehan seksual sudah merupakan tindak kriminal. Apalagi jika ini terjadi di dunia pendidikan, maka nama baik pendidikan akan semakin hancur. Apalagi tidak jarang pelecehan seksual justru dilakukan oleh guru terhadap peserta didiknya. Guru yang seharusnya memberi teladan yang baik, mencoreng nama mulia guru yang diamanahi tugas mendidik.
Salah satu dampak kekerasan pada anak bila merasa tidak enak (upset) seorang anak yang menjadi saksi atau korban kekerasan akan cenderung untuk menunjukkannya dengan tingkah laku daripada membicarakan kesulitannya.[10] Seorang anak yang memperoleh tindak kekerasan cenderung tidak terbuka dalam mengungkapkan apa yang ia rasakan, baik itu karena sekadar takut atau trauma. Padahal, jika anak  sudah tidak bisa bersikap terbuka, pendidik tidak akan tahudengan pasti apa yang ia inginkan atau rasakan. Akibatnya, akan menghambat terhadap proses pendidikan.
Bahkan kemungkinan anak akan berprilaku agresif hingga menentang terhadap nilai-nilai pendidikan yang dianggapnya sebagai salah satu penyebab kekerasan terjadi pada dirinya. Selanjutnya, kekerasan dalam pendidikan yang awalnya ia peroleh akan ditiru dan dipraktekkan dalam kehidupan mendatangnya.
Kekerasan dalam pendidikan yang telah menjadikan buruk wajah pendidikan kita perlu segera diatasi sehingga tidak menjadi masalah yang semakin menghawatirkan dan berkelanjutan. Cara untuk menaggulangi kekerasan dalam pendidikan ialah dengan membersihkan pendidikan dari praktek-praktek kekerasan. Salah satu konsep yang dapat menjadi alternatif ialah konsep “Pendidikan Damai” yang akan dibahas lebih luas pada pembahasan berikutnya.
B.     Pendidikan Damai Sebagai Salah Satu Alternatif Solusi
Kata damai (peace) memiliki beberapa arti, seperti bebas dari (freedom from); genjatan senjata dari perang (cessation of war); perjanjian damai antara dua kekuatan yang sebelumnya berperang (ratification or treaty of peace between powers previously at war). [11] Secara ringkas, jika pembahasan dalam pembahasan sebelumnya merupakan kekerasan yang terjadi dalam pendidikan, maka konsep damai pada titik ini ialah pembebasan pendidikan dari kekerasan. Sebetulnya peace ini mencakup seluruh aspek kehidupan mengingat kekerasan juga terjadi pada setiap aspek kehidupan. Namun untuk pembahasan ini, fokus pada damai dalam pendidikan (peace in education), atau pendidikan damai.
Secara khusus UNICEF (United Nations Intenational Children’s Emergency Found) dan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) proaktif menyarakan pendidikan damai yang dalam seri lembar kerja UNICEF Juli 1999 dimaksudkan untuk hal-hal sebagai berikut:[12]
1.      Berfungsi sebagai “zona damai” di mana anak merasa aman dari konflik kekerasan;
2.      Melaksanakan hal dasar anak sebagaimana digariskan dalam konvensi hak anak (CRC);
3.      Mengembangkan iklim belajar yang damai dan prilaku saling menghargai antara anggota masyarakat.
4.      Menunjukkan prinsip persamaan dan tanpa deskriminasi baik dalam prkatek maupun kebijakan administrasinya;
5.      Menjabarkan pengetahuan tentang bentuk perdamaian yang ada di tengah masyarakat termasuk berbagai sarana yang menyangkut adanya konflik, secara efektif, tanpa kekerasan, dan berakar dari budaya lokal;
6.      Menangani konflik dengan cara menghormati hal dan martabat pihak yang terlibat;
7.      Memadukan pemahaman tentang damai, HAM, keadilan sosial dan berbagai isu global melalui sarana kurikulum, bila hal itu dipandang memungkinkan;
8.      Menyediakan forum diskusi tentang nilai damai dan keadilan sosial;
9.      Memanfaatkan metode belajar mengajar yang menekankan pada partisipasi, Cupertino, problem solving, dan lainnya yang dapat menghargai perbedaan;
10.  Memberdayakan anak agar dapat mengamalkan perilaku damai dalam lingkungan pendidikan dan di masyarakat pada umumnya;
11.  Memperluas kesempatan untuk melakukan refleksi berkelanjutan dan pengembangan keahlian semua pendidik sehubung dengan isu perdamaian, keadilan dan hak seseorang.
Sedangkan salah satu tujuan jangka panjang UNESCO adalah membentuk sistem pendidikan yang komprehensif bagi HAM, demokrasi, dan budaya damai.[13]
Dari literatur di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan damai berdasar pada HAM dan demokrasi. Hal ini juga berpengaruh terhadap muatan kurikulum yang hendak diajarkan terhadap peserta didik dalam pendidikan damai. Kurikulum dalam pendidikan damai ialah sebagai berikut:
Penjabaran tentang materi dan metode dalam pendidikan damai adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan damai memuat materi pengetahuan (knowledge) yang meliputi mawas diri, pengakuan tentang prasangka, berbagai isu lainnya seperti konflik dan perang, damai tanpa kekerasan, lingkungan dan ekologi, nuklir dan senjata lainnya, keadilan dan kakuasaan, teori resolusi, pencegahan dan analisa konflik, budaya, ras, gender, agama, isu HAM, sikap tanggung jawab, pengaruh globalisasi, masalah buruh, kemiskinan danekonomi internasional, hukum internasional dan mahkamah keadilan, PBB, instrument, standar dan sistem internasional, perawatan kesehatan, masalah HIV Aids, dan jual beli obat terlarang. Kedua, muatan materi keterampilan (skill) dalam pendidikan damai meliputi komunikasi, kegiatan reflektif pendengaran aktif, kerjasama, empati dan rasa halus, berpikir kritis dan kemampuan problem solving, apresiasi nilai artistik dan estetika, kemampuan menengahi sengketa, negosiasi, dan resolusi konflik, sikap sabar dan pengendalian diri, menjadi warga yang bertanggung jawab, penuh imajinasi, kepemimpinan ideal, dan memiliki visi. Ketiga, muatan materi nilai atau sikap (attitude) dalam pendidikan damai meliputi: kesadaran ekologi, penghormatan diri, sikap toleransi, menghargai martabat manusia beserta perbedaannya, saling memahami antara budaya, sensitif gender, sikap peduli dan empati, sikap rekonsiliasi dan tanpa kekerasan, tanggung jawab sosial, solidaritas, resolusi berwawasan global. [14]
Sedangkan di ruang kelas, pendidikan damai diarahkan untuk mengembangkan keterampilan, sikap dan pengetahuan anak melalui metode belajar partisipatoris kooperatif, serta suasana saling toleransi, peduli dan menghargai. Melalui kegiatan dialog eksplorasi, guru bersama murid melakukan petualangan belajar interaktif.[15]
Suasana dan tujuan pembelajaran betul-betul diarahkan untuk menghindari serta menyelesaikan konflik secara damai, tanpa kekerasan. Peran guru dan pendidik lainnya (kepala sekolah, karyawan, orang tua, dan masyarakat) sangat penting guna mewujudkan pendidikan damai. Sebab itu, pendidik harus betul-betul memahami perihal HAM, demokrasi, dan pendidikan damai itu sendiri.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan menjadi sebuah ironi yang kerap kali terjadi di tengah-tengah pendidikan yang memiliki tujuan mulia yakni mengembangkan potensi peserta didik hingga menjadi insan yang paripurna. Kekerasan tersebut antara lain kekerasan antar pelajar dalam lembaga pendidikan yang sama, perpeloncoan dan hubungan senioritas-junioritas, tawuran pelajar dan mahasiswa, kekerasan pendidik pada siswa, dan pelecehan seksual di sekolah. Semua itu harus segera ditanggulangi salah satunya dengan konsep pendidikan damai.
Pendidikan damai merupakan konsep pendidikan yang menjadi lawan dari kekerasan. Dasar dari pendidikan damai ialah penjunjung tinggian HAM dan demokrasi. Hal itu juga berdampak pada kurikulum yang diberikan kepada siswa sarat dengan muatan ilmu-ilmu sosial yang bersifat huministik. Pendidik dalam pendidikan damai tentu harus betul-betul memahami tentang Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, dan pendidikan damai.

B.     Saran
Kekerasan dalam pendidikan bukan saja berdampak fisik. Tetapi mengakibatkan dampak psikologis yang cukup beresiko terhadap peserta didik. Untuk itu, karena di Indonesia tidak satu pun yang menerapkan kurikulum pendidikan damai, hendaknya setiap pendidik maupun sesama peserta didik menghindari tindakan kekerasan dalam bentuk apapun, baik fisik maupun psikologis.





DAFTAR PUSTAKA

Aluhajir, As’aril. Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Assegaf, Abd. Rachman. Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep. Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004.
Ch, Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Setiawan, Beni. Agenda Pendidikan Nasional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Soyomukti, Nurani.Teori-Teori Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.




[1] Ar’aril Aluhajir. Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual (Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 33
[2] Abd. Rachman Assegaf. Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 83
[3] Beni Setiawan. Agenda Pendidikan Nasional (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 131
[4] Ibid. Mengutip dari: Nurul Huda, SA: 2002
[5] Nurani Soyomukti.Teori-Teori Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)., hlm. 74
[6] Ibid., hlm.79
[7] Ibid., hlm.83
[8] Ibid., hlm.85
[9] Ibid., hlm.89
[10] Mufidah Ch. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 334
[11] Lihat The Reader’s Digest Great Encyclopedic Dictionary Vol. 2 (London: Oxford University Press, 1970), hlm. 648-649 yang dikutip oleh: Abd. Rachman. Pendidikan Tanpa Kekerasan., hlm. 77-78
[12] Ibid., hlm. 85-86
[13] Ibid., hlm. 86
[14] Ibid., hlm. 94
[15] Ibid.
Read More >>


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Seiring dengan berputarnya waktu, kemajuan moderanisasi, serta berkembangnya ilmu pengetahuan kita sebagai generasi islam harus mengenal tokoh-tokoh yang sngat dan dapat memberi pengaruh terhadap kemajuan pendidikan utamanya dalam pendidkan islam. Dengan itu, kita jangan sampai menghina, meremehkan, atau bahkan melupakan jasa-jasa para pejuang pendidikan
Salah satu tokoh islam itu adalah Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun adalah tokoh muslim yang pemikirannya sangat luas dan mendalam sekali serta menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan. Ia telah mencanangkan dasar-dasar dan sestem pendidikan yang patut diteladani, baik dari segi metode, materi maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati. Konsep pendidikan yang dikemukakannya tampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai mahluk yang harus dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat .Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar tetap hidup bermasyarakat dengan baik
                                                                    
B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis mempunyai beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Siapakah tokoh muslim Ibnu Khaldun itu?
2.      Apakah pengertian dan tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun itu?
3.      Bagaimanakah pemikiran pendidikan dalam perspektif Ibnu Khaldun?

                                                                    

C.     Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan penulisan dari makalah ini sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui  seluk-beluk tentang tokoh muslim Ibnu Khaldun
2.      Untuk mengetahui dan memahami pengertian dan tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun
3.      Untuk mengetahui pemikiran pendidikan dalam perspektif Ibnu Khaldun



BAB II
PEMBAHASASAN
     A.    Seketsa Biografis Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun mempunyai nama lengkap Abd al-Rahman Abu Zaid Waliuddin Ibnu Khaldun. Namanya sendiri adalah Abd al-Rahman, sedang nama keluarganya adalah Abu Zaid dan gelarnya Waliuddin.[1] Beliau lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 733 H /  27 Mei 1332 M.[2] Nenek moyang berasal dari Hadramaut dan masih memiliki garis keturunan dengan Wali bin Hajar (salah seorang sahabat Nabi SAW), yang mana mereka kemudian bermekgrasi ke Seville (spanyol) pada abad ke-8 setelah seminanjung dikuasai arab muslim. Keluaraga yang dikenal dengan pro Umayah ini selama berabad-abad menduduki posisi tinggi dalam politik di Spanyol sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum Seville jatuh ke tangan penguasa Kristen pada tahun 1248. Setelah itu mereka menetap di Tunisia,  di kota itulah mereka dihormati pihak istana, diberi tanah oleh dinasti Hafsiah.[3] Hal itulah disebabkan keluarga Ibnu Khaldun dikenal memiliki pengetahuan luas dan berkedudukan terhormat di masyarakat dan pemerintahan.
Keluarga  Ibnu Khaldun memang dikenal dengan keluarga yang berintelektual, jadi tidak heran dalam dirinya mewarisi hal tersebut. Dia biasa berjumpa dengan tokoh intelektual dari Afrika Utara dan Spanyol yang sbagian besar adalah pengungsi dari kekhalifahan Timur.[4]  Selain itu dirinya juga berkecimpung dalam dunia politik, terbukti karir tokoh ini bermula semenjak ia ditunjuk oleh Ibnu Tafirakin, seorang perdana menteri dari Raja Abi Ishaq al-Hafshi yang berkuasa di Tunisia pada pertengahan abad VIII H sebagai sekretaris yang menyalin berbagai dukumen penting. Usianya pada saat itu masih 17 tahun, dan akhir masa pergumulan politiknya adalah sewaktu ia bertemu dengan Timur Lank di kawasan  Damaskus pada tahun 1400 M (802 H). selama rentang waktu yang panjang itu ia telah berganti-ganti mengabdikan diri pada raja-raja wilayah Andalusia, Maroko (Maghribi), kabilah Barbar dan Mamalik Mesir, ia banyak mengalami keberhasilan dan kegagalan.[5]
Sebagaimana para pemikir islam lainnya, pendidikan masa kecilnya berlangsung secara tradisional. Artinya juga belajar membaca Al-Qur’an, mempelajari tajwid bahkan menghafalkannya. Pendidikan itu ia terima dari ayahnya, ia juga fasih qiraatis sab’ah. Dia juga mempelajari Tafsir, Hadits, Fiqh (Maliki), Gramatika Bahasa Arab, Ilmu Mantiq, Filsafat, Retorika dan puisi dengan sejumlah ulama’ Andalusia yang hijrah ke Tunisia. Dari berbagai pendidikan yang sangat intensif serta didukung oleh keluarga dan kecerdasan yang baik, jadi tidak heran jika dalam usia muda ia mampu menguasai berbagai bidang keilmuan.
Di sela-sela kesibukannya sebagai politikus (Hakim Agung), Ibnu Khaldun dalam minatnya mengembangkan ilmu pengetahuan tidak pernah padam. Ia memanfaatkan fasilitas yang ada di Mesir untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya, dia juga menjadi dosen Ilmu Fiqh, Madzhab Maliki di Madrasah Qamliyah. Bahkan dalam pahit getir kehidupannya, Ibnu Khaldun mampu menulis beberapa buah karya tulis yang memuat ide-idenya yang brilyan. Di antaranya Muqaddimah Ibnu Khaldun adalah al-Ta’rif, kitab al-A’bar dan karya-karya lain seperti komentar Ibnu Khaldun terhadap kitab Burdah, Ikhtisar beberapa karya Ibnu Rusyd, beberapa uraian tentang logika, ssebuah karya di bidang Aritmatika, dan Ikhtisar Kitab al-Muhashshal karya Fakhruddin al-Razi.[6]  Yang mana Muqaddimah tersebut  merupakan karya Ibnu Khaldun yang paling terkenal, yang dalam bahasa yunai diterjemahkan menjadi prolegomenon, jilid pertama dari kitab al-Ibar atau kitab tentang sejarah universal. Ahli sejarah Inggris, Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah sebagai filsafat sejarah yang tidak diragukan lag.[7]Ibnu Khaldun wafat pada tanggal 26 Ramadhan 1808 H / 16 Maret 1406 M di Kairo dalam usia 74 tahun , bersama jabatan yang dipengangnya yakni sebagai Ketua Mahkamah Agung.
    B.     Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Di dalam kitab muqaddimahnya, Ibnu Khaldun tidak memberikan difinisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa: “barang siapa yang tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman”. Maksudnya barang siapa yang tidak memperoleh tatakrama yang dibutuhkan sehubungan dengan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa alam ssepanjang zaman, Zaman akan mengajarkannya.[8]
Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas, pendidikan tidak hanya proses kegiatan belajar mengajar, tetapi pendidikan adalah suatu proses , dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap dan menghayati pristiwa-pristiwa  alam sepanjang zaman.
Sedangkan Ahmad Syafi’i Maarif dalam bukunya memberikan penjelasan bahwa pedidikan Ibnu Khaldun adalah pendidikan nilai-nilai tinggi atau budi pekerti yang luhur, dan bersifat intelektual dan religius. Menurut Hamdani Ikhsan, Ibnu Khaldun memiliki pemikiran dan pandangan yang luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlibatkan  aspek intelektual  semata, tetapi juga ahklaq,  keimanan, social , jasmaniah dan sebagainya.[9]
Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun yaitu:
a.       Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan
b.      Menyiapkan seseorang dari segi akhlaq
c.       Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau social
d.      Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan yakni membantu  manusia dalam kehidupannya mencari rezki
e.       Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran
f.       Menyiapkan seseorang dari segi keseniaan
Rumusan Ibnu Khaldun  mengenai tujuan pendidikan adalah sebagai berikut:
a.       Memberikan kesempatan kepada pemikir untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbuka pikiran- pikiran kematangan individu kemudian kematangan ini akan mendapat faedah bagi masyarakat.
b.      Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat. Maju dan berbudaya
c.       Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk memperoleh riski
Beberapa factor yang dijadikan alasan untuk merumuskan  tujuan pendidikan yaitu sebagai berikut:
a.       Pengaruh Filsafat sosiologi yang tidak bisa memisahkan antar masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
b.      Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya.
c.       Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgent dalam kehidupan setiap individu.

     C.     Pemikiran Konsep pendidikan Ibnu Khaldun
1.      Pandangan Tentang Manusia Didik
Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada kepribadiannya, menurutnya,” Manusia bukan merupakan produk nenek moyangnya, akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosisl, lingkungan alam, adat istiadat, karena itu lingkungan social merupakan tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak prilaku seorang manusia.[10]
Ibnu Kaldun memandang manusia sebagai mahluk yang berbeda dengan mahluk lainnya. Manusia, kata Ibnu khaldun adalah manusia berfikir, oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi[11], dari itulah manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup yang dari proses inilah menghasilkan peradaban.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang manusia didik  yaiatu mencakaup:
a.       Pendidik (guru)
Pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan agar mempunyai ilmu, keterampilan dan menyucikan hati sehingga mencapai kebahagiaan dunia akhirat.[12]
Ada beberapa hal yang dianjurkan Ibnu Khaldun terhadap pendidik yaitu:
1.      Guru harus profesional (memiliki bakat)
2.      Guru harus tau perkembangan psikologis peserta didik dan kemampuan dan daya serap peserta didik.
Adapun prinsip utama yang harus dimiliki oleh pendidik menurut Ibnu   Khaldun yaitu:
a.       Prinsip pembiasaan
b.      Tadrij (berangsur-rangsur)
c.       Pengenalan umum (Generalistik)
d.      Kontinuitas
e.       Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.       Menghindari kekerasan dalam mengajar
b.      Peserta didik (Murid)
Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik dan psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan.[13]
Hal yang dianjurkan Ibnu Khaldun terhadap peserta didik yaitu:
1.      Peserta didik harus sering berdiskusi dan berdebat
2.      Peserta didik jangan mengantungkan diri pada teks diktat kesimpulan-kesimpulan dari suatu ilmu pengetahuan
3.      Peserta didik harus belajar sendiri atau mandiri

2.      pandangan Tenteng Ilmu atau Materi Pendidikan
Materi merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dari itu Ibnu Khaldun telah membagi ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia terdiri dari:.
a.       Ilmu Lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramitika), sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (syair)
b.      Ilmu Naqli (tradisional science)  yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah nabi. Meliputi al qur’an, hadits, ulum al-hadits, fiqh, usul fiqh, ilmu kalam, tasawuf dan ta’bir ru’ya
c.       .Ilmu Aqli (rational science) yaitu illmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya fikir atau kecendrungannya kepada Filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Ilmu ini meliputi Mantiq (logika), fisika, Ilmu Hitung, Kedokteran, Pertanian, Astronomi, termasuk juga di dalam ilmu ini adalah sihir dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu Nujum, Ibnu Khaldun menganggapnya sebagai ilmu yang fasid karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Hal ini merupakan sesuatu yang bathil, berlawanan dengan ilmu Tauhid yang menegaskan bahwa tidak ada yang menciptakan kecuali Allah sendiri.[14]

3.      Pandangan Tentang Kurikulum
Pengertian kurikulum di masa Ibnu Khaldun serta kurikulum masa kini (modern) itu berbeda. Kurikulum di masa Khaldun masih terbatas maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang tarbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum modern mencakup konsep yang lebih luas, yang di dalamnya mencakup konsep lebih luas, seperti tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat , data kegiatan–kegiatan dan sebagainya
Sementara pemikiran Khaldun tetang kurikulum dapat dilihat melalui epistimologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat islam dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a.       Ilmu pengetahuan syariat yaitu ilmu-ilmu yang bersandar pada warta otoritatif syar’i (Tuhan / Rasul) dan akal manusia tidak mempunyai peluang untuk mengotak-atiknya kecuali dalam lingkup cabang-cabangnya. Hal itupun masih harus berada dalam kerangka dictum dasar warta otoritatif tersebut.
b.      Ilmu pengetahuan Filosofis yaitu ilmu yang bersifat alami yang diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya.
Kedua ilmu pengetahuan di atas merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) serta saling berintraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarnya. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekontruksi kurikulum pendidikan. Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memilki kemampuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia.
4.      Pandangan Mengenai Metode Pendidikan
Metode pendidikan adalah ssegala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemeastian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya.
Menurut ibnu khaldun mengajarkan ilmu pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan bermanfaat apabila dilakukan dengan berangsur-rangsur, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit.[15] Metode ini dikenal dengan metode pertahanan dan pengulanagan (tadrij wat tiraati) selain itu menggunakan metode peragaan karena dengan metode ini proses mengajar akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik serta metode diskusi, dengan metode diskusi inilah, menurut  Ibnu Khaldun pelajar bukan menghafal akan tetapi memahami serta dapat menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai orang lain. Intinya , guru harus menggunakan metode yang baik dan mengetahui faedah yang dipergunakannnya. Ibnu Khaldun menganjurkan kepada pendidik untuk bersifat sopan dan halus pada muridnya. Hal ini juga termasuk sikap orang tua sebagai pendidik utama, selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pukulan tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali.[16]                                                                                                                       

  

BAB III
PENUTUP

      A.    Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa kesipulan  sebagai berikut:
1.      Ibnu Khaldun adalah salah satu tokoh muslim yang mempunyai nama lengkap ‘Abd al-Rahman Abu Zaid Ibnu Khaldun, beliua lahir di Tunisia dan wafat Kairo.
2.      Pendidikan merupakan proses belajar mengajar dimana proses tersebut manusia secara sadar, menangkap, menyerap dan menghayati peritiwa-peristiwa alam sepanjang zaman. Sedamgkan tujuan pendidikan  menurut Khuldun diantaranya, mennyiapkan seseorang dari segi keagamaan, akhlaq, kemasyarakatan atau social, vokasional, pemikiran dan keseniaan
3.      Pemikiran konsep pendidikan menurut Khaldun yaitu, tentang manusia didik yang di dalamnya mencakup guru dam murid, tentang ilmu,yang terdiri dari Ilmu Lisan, Imu Naqli dan Aqli, tentang kurikulum dan metode pendidikan.

     B.     Saran
Penulis mengharapkan sekali pada pembaca untuk sekiranya memiliki pendidikan karena pendidikan tersebut sangatlah di butuhkan dari masa sekarang hingga masa yang akan datang. 


DAFTAR PUSTAKA
Siswanto. Pendidikan dalam Perspektif Filosofis, Pamekasan: STAIN Press, 2009
Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam, Jakarta: PT Mizan Publika, 2003
Maarif, Ahmad Syafii. Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Jakarta Gema Insani Press, 1996
Ridlo, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002
Yulianto, Diyan dan M.S. Rohman. Sumbangan-sumbagan Karya Sains Superdahsyat Islam Abad Pertengahan, Jogjakarta: DIVA Press, 2010
                                                                               
Rujukan Lain
http:// Arieslailiyah.blogspot.com



[1] Siswanto, Pendidikan Dalam Persepektif Filosofis, (STAIN Pamekasan: STAIN Press, 2009), hlm. 75
[2] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2003), hlm. 169
[3] Ahmad syafii  Maarif, Ibnu Khaldun  dalam Pandangan Penulisan Barat Timur, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hlm. 11
[4] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2003), hlm. 169
[5] Muhammad Jawwad Ridlo,  Tiga Aliran Utama Teori pendidikan Islam, (Yogyakarta : PT  Tiara Wacana Yogya ,2002), hlm. 173- 174
[6] Siswanto, Pendidikan Dalam Persepektif Filosofis, (STAIN Pamekasan: STAIN Press,2009), hlm.  76
[7] Diyan Yulianto dan M.S. Rahman,  Sumbangan- Sumbangan Karya Sains superdahsyat Islam Abad Pertengahan, (Jogjakarta : DIVA Press, 2010), hlm. 256
[8] http:// Arieslailiyah. Blogspot. com                                     
[9] ibid                                                                                                                              
[10] http:// Hadirukiyah. Blogspot.com
[11]Abuddin Nata, filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Midiam Pertama, 2005), hlm. 224
[12] http:// Arieslailiyah. Blogspot. com
[13] Ibid
[14] Abuddin Nata, filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Midiam Pertama, 2005), hlm, 226
[15] Ibid
[16] Ibid, hlm.  227
Read More >>