PEMBAHASAN

A.    Pengertian ijma’
Definisi ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:
1.      Bermaksud atau berniat (azm) sebagai firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat yunus ayat 71 yang artinya:
“dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh diwaktu dia berkata kepada kaumnya, “hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karna itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakannya. Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tanggu kepadaku.” (QS.Yunus:71).

Maksudnya, semua pengikut nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh dan hadits Rasulullah SAW. yang artinya, “barangsiapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar maka puasanya tidak sah.[1]
2.      Kesepakatan terhadap sesuatu (ittifaq), artinya suatu kelompok bisa dikatakan berijma’ jika mereka bersepakat terhadap sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam surat Yunus ayat 15 yang artinya:
“maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan (diwaktu dia berada didalam sumur)kami wahyukan kepada yusuf, ” sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (QS.Yusuf: 15)

Yakni mereka bersepakat terhadap rencana tersebut.
Adapun perbedaan antara kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.[2]
           
              Definisi ijma’ menurut istilah:
Para ulama’ ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah, diantaranya:
1.      Pandangan kitab fushulul bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap huku syara’.
2.      Penagarang kitab tahrir, Al-kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ muhammad SAW. terhadap masalah syara’.[3]
B.     Dasar hukum ijma’:
1.      Al-Qur’an
Al quran adalah hujah pertama hukum islam yang harus jadi pegangan bagi umat Muhammad SAW. al quran mendapat kedudukan pertama dan utama adalah karena keotentikan al qur’an masih sangat terjaga dan kemutawatirannya yang tidak lagi diragukan. Itu juga berlaku dalam penerapan kinerja dari ijma’ itu sendiri. Ijmak adalah salah satu dari usaha pemetaan hukum islam dengan kata lain ijma’ adalah model perluasan dari semakin kompleknya masalah kehidupan.
2.      Hadits
Hadirnya hadits dalam tatanan hukum  islam juga mempunyai peran yang sangat kuat dalam memberikan pemahaman yang lebih dalam teks al quran yang masih sangat simpel dalam memberi pemahaman keagaman. Sehingga, butuh penjelas yang bisa menjadi sarana penyelesaian masalah yang ada diantara masyarakat. Hadits adalah jenis dari wahyu yang tidak secara langsung diambil dari tuhan akan tetapi pemaknaanya saja yang otentik dari tuhan.[4]
3.      Akal pikiran
Setiapijma’ yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nash pun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qias, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al quran dan al hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk dari kedua dalil itu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan diatas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.   
                   Ijma’ adalah merupakan model hukum yang diperoleh dari metamorfosa al quran dan hadits                    dimana ada beberapa syarat akan hadirnya ijma’ serta yang bisa menjadi tolak ukur untuk                            keabsahan dari ijma’ itu sendiri.
C.     RUKUN-RUKUN IJMA’
Dari definisi dan dasar hukum ijma’ diatas, maka ulamk ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma’ sebagai berikut:
1.      Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu). Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid diwaktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi, karena ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
2.      Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh  mujtahid yang ada dalam dunia islam jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma’.
3.      Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sepakat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara’) dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersesat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan. Sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan oleh para mujtahid.
4.      Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian mujtahid yang ada maka keputusan yang demikian belum pasti itu ijma’. Ijma’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syariah.  
D.    SYARAT-SYARAT  IJMA’
           Dari definisi ijma’ di atas dapat di ketahui bahwa ijma’ itu bias terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini;
1.Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
           Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid, secara umum mujtahid itu di artikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab Jam’ul Jawami  di sebutkan bahwa yang di maksud mujtahid adalah orang yang faqih. Dalam Sulam Ushuliyin kata mujtahid dig anti dengan istilah ulama ijma’, sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazim dan Hikam.
           Selain pendapat di atas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat Al-Wadih dalam kitab Isbat bahwa mujtahid yang di terima fatwanya adalah ahlu Al-Halli wal aqdi.
           Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan bahwa yang di maksud mujtahid adalah orang islam yang balig, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dan sumbernya.
           Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa di katakan ijma’, begitu pula penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara’.
           Maka apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, tidak akan terjadi ijma’. Meskipun ada tetapi hanya satu orang, itu pun tidak bisa di katakan ijma’, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. Dengan demikian, suatu kesepakatan bisa di katakana ijma’ bila dilakukan oleh tiga orang atau lebih. Adapun kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa hal itu tidak bisa di katakan ijma’.  Akan tetapi, menurut jumhur ulama hal itu termasuk ijma’, karena mewakili kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa itu.
2.Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
           Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak, meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa di katakan ijma, karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.                
          Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang di maksud kesepakatan ijma’, termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
          Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah, meskipun tidak di kategorikan sebagai ijma’. Karena kesepakatan  sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil shahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum. Dan jarang terjadi, kelompok kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok besar.
3.Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
          Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. Ada yang berpendapat bahwa yang di maksud umat Muhammad SAW adalah orang-orang mukallaf  dari golongan ahl Al-halli wa Al-aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukallaf adalah muslim, berakal, dan telah balig.
          Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW tidak bisa di katakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat para Nabi lain yang berijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW tersebut telah di jamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
4.Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
          Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang di pandang baik, dan itu di anggap sebagai syari’at.
5.Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
          Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain. Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Ghazali  yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-juwaini dalam kitab Al-Warakat’, Safiudin dalam Qawaidul usul, Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir, dan lain-lain. Adapun mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannya sebagai syarat ijma’. Sedang Al-Athar  dalam kitab Hasiyah Jam’ul Jawami mengartikan zaman dalam definisi ijma’ di atas dengan zaman mana saja.
E.     KEMUNGKINAN TERJADINYA IJMA’
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rosulullah SAW. sampai sekaran, dihubungkan dengan kemunginan terjadinya ijma’ maka ijma’ dapat dibagi atas tiga periode yaitu:
1.      Periode Rosulullah SAW.
2.      Periode kholifah Abu Bakan as siddiq dan kholifah Umar bin Khottob,
3.      Dan periode selanjutnya
Pada masa Rosulullah SAW. beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al quran yang telah diturunkan dan hadits yang telah disapdakan jika mereka tidak menemukan dalam sumber itu, maka langsung menanyakan pada Rosulullah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al quran diturunkan oleh Allah SWT. setelah Rosulullah SAW. wafat, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al quran dan al hadits. Jika ada suatu kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, maka berijtihad tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma’. Seandainya ada kemungkinan itu terjadi pada masa kholifah Abu bakar, kholifah Umar.
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Ijma’ tidak diperlukan pada masa nabi Muhammad SAW.
2.      Ijma’ mungkin terjadi pada masa kholifah Abu Bakar, kholifah Umar bin Khottob dan 6 tahun pertama kholifah Usman dan setelah 6 tahun kedua pemerintahan kholifah Usman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan diatas mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk islam.

F.      MACAM-MACAM IJMA’
           Ditinjau dari segi Qath’i (pasti) dan Zhanni (dugaan)nya dalalah, Ijma’ dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
1.      Ijma’ Qath’iyud dalalah terhadap
hukumnya, yakni hukum yang dihasilkan dari Ijma’ ini adalah Qath’i, jadi tidak ada jalan lain untuk menetapkan hukum peristiwa itu berbeda dengan hukum hasil Ijma’ tersebut dan tidak ada jalan lain untuk berijtihad lagi terhadap peristiwa yang telah ditetapkan oleh Ijma’ itu. Ijma’ yang Qath’iyud dalalah itu adalah Ijma’ Sharih.
        2. Ijma’ Zhanniud dalalah terhadap hukumnya, yakni hukum yang dihasilkan dari Ijma’ ini adalah Zhann (dugaan saja) dan peristiwa yang ditetapakan hukumnya berdasar Ijma’ ini masih mungkin bisa dijadikan Ijtihad oleh Mujtahid lain. Sebab ia baru merupakan hasil dari sebagian Mujtahid, bukan seluruh Mujtahid. Ijma’ macam kedua ini adalah Ijma’ Sukuti. [5]
          Macam-macam ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam yaitu:
IJMA’ SHARIH
           Maksudnya semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya. Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul di suatu tempat kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin di ketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut.
          Selain itu bisa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian, kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian. Mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid pertama. Dan mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah di fatwakan tersebut, begitu seterusnya sehingga semua mujtahid menyepakati pendapat tersebut.
IJMA’ SUKUTI
         Adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang di ketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti di katakan sah bila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini:
1.      Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya kesepakatan yang di lakukan oleh sebagian mujtahid maka tidak di katakan ijma’ sukuti, melainkan ijma’ sharih.
2.      Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa di pakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya di pandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
3.      Permasalahan yang di fatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Adapun tentang permasalahan yang tidak boleh di ijtihadi atau yang bersumberkan dalil-dalil qath’i, apabila seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa di dasari dalil yang kuat, sedangkan yang lain diam, hal itu tidak bisa di sebut ijma’.
          Ijma’ macam pertama menurut jumhur adalah Ijma’ Haqiqi dan menjadi sumber hukum syari’at. Sedang Ijma’ macam kedua adalah Ijma’ I’tibari (masih relatif). Sebab orang yang berdiam diri itu belum tentu kalau ia setuju. Karena itu kedudukan Ijma’ macam kedua ini masih diperselisihkan. Jumhur menetapknnya bukan sebagai Hujjah, lantaran masih dianggap sebagai pendapat perseorangan.akan tetapi Ulama Hanafiah berpendapat bahwa Ijma’ Sukuti itu dapat dijadikan Hujjah, apabila Mujtahid itu berdiam diri setelah disodorkan kepadanya peristiwa itu beserta pendapat Mujtahid lain yang telah berijtihad dan telah cukup pula waktu untuk membahasnya serta tidak didapati suatu petunjuk bahwa dia bediam diri itu karena takut atau mengambil muka.
           Dari segi lain Ijma’ dapat dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya Ijma’ umat, Ijma’ para Sahabat dan Ijma’ empat orang Sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, dan ‘Ali. Sedangkan Ijma’ Syaihaini adalah  Ijma’ dua orang Sahabat besar yaitu Umar dan Abu Bakar yang dapat dijadikan sumber Fiqih. (Drs. H.M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Surabaya : Bina Ilmu,1990). Segolongan Ulama’ menjadikan persesuaian Faham Abu Bakar dan Umar sebagai Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah berdasar kepada Hadits :
اِقْتَدَواْ بِاالَّذِيْنَ بَعْدِى : اَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ ( رواه التّرمذي )

Artinya : “ Ikutilah dua orang sesudahku : Abu Bakar dan Umar. (H.R. At- Turmudzi).[6]
           Namun Ijma’ penduduk Kota Madinah hanya dapat dijadikan  dalil oleh mazhab Hanafi, sedangkan Ijma’ Al ‘itrah dapat dijadikan dalil oleh mazhab Syi’ah.[7]
          Macam-macam ijma’ di tinjau dari segi masanya dapat di bagi menjadi dua: 1. Zaman khalifah yang empat dan 2. Zaman sesudahnya.
1.      Ijma’ sahabat yang di maksud ialah zaman khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Ijma’ mereka ini jelas dapat di jadikan hujjah tanpa diperselisihkan orang lagi sebab Nabi sendiri memerintahkan sebagaimana sabdanya yang artinya
“Hendaklah kamu berpegang kapada cara-caraku dan cara-cara Khulafaur Rasyidin.”
2.      Zaman sesudah Khulafaur Rasyidin, yaitu tatkala Islam telah meluas dan para fuqaha sahabat banyak pindah ke negeri islam yang baru dan telah timbul fuqaha tabi’in yang tidak sedikit, di tambah lagi dengan pertentangan politik maka pada zaman inilah sukar di bayangkan dapat terjadinya ijma’. Kalau sampai zaman tabi’in saja, sudah sukar akan terjadi ijma’, terlebih lagi zaman sekarang saat para ulama telah tersebar luas ke seluruh pelosok. Sedang sahnya ijma’ ialah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad.
Ijma’ yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan ijma’ dari keputusan musyawarah yang di ambil oleh para ulama yang mewakili semua lapisan masyarakatnya untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka itulah yang di namai ulil amri atau ahlul halli wal’aqdi. Mereka di beri hak oleh syari’at Islam untuk membuat undang-undang yang belum terdapat dalam syara’.
Keputusan mereka ini wajib ditaati dan dijalankan selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas, tetapi kalau berlawanan dengan nash syari’at betapa dan bagaimanapun juga keputusan itu tetap batal.
G.     syarat-syarat ahli ijma’
         ijma’  merupakan kesepakatan hukum yang disimpukan oleh para mujtahid sebagai jalan keluar bagi permasalahn – permasalahan keagamaan setelah wafatnya nabi muhammad. Ahli ijma’ (mujtahid) harus memenuhi kriteria yang telah menajdi kesepakatan para ulama’ untuk menetapkan hukum[8] , diantaranya :
1. Harus terdiri dari umat Nabi Muhammad SAW.
         para ulama’ berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad SAW. adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl al-halli wa al-aqli, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukallaf adalah sampainya pada batas dibebankan hukum terhadapnya.
            Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulamak selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan ijma’. Hal ini menunjukan bahwa adanya umat lain selain umat nabi Muhammad SAW. yang melakukan ijma’. Adapun ijma’ umat nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk melakukan kesalahan.[9]
Oleh sebab itu , ijma’ (kesepakatan) yang bisa dijadikan sebagai hujjah hanyalah kesepakatan umat Nabi Muhammad SAW, sebab Allah telah menjaga mereka dari berbuat salah dan mereka dianggap sebagai umat pilihan yang penuh keadilan.  Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai berikut :
 “ wakadzalika ja’alnakum ummatan wasaton “.
Artinya: dan demikianlah kami telah menjadikan kamu sekalian ( umat islam ), umat yang adil dan             pilihan.  
la tajtami’u ummati ala dalalatin
artinya: umatku tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan [10]
            Dua dalil diatas adalah tuntunan bagi kita bahwa syrat diterimanya sebuah ijma’ adalah dengan syarat mujtahid tersebut harus dari kalangan umat Nabi Muhammad SAW.  yang kredibilitasnya sudah tersirat dalam hadits dan ayat diatas.  Sehingga, nabi memberi keleluasaan bagi kita untuk melakukan ijtihad dalam memberikan solusi atas permasalahan keagamaan saat ini.[11] Hadits diatas memberikan penentuan khusus pada umat Nabi Muhammad SAW. yang tidak dimiliki oleh umat lainnya. Dengan kata lain, umat Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. tidak boleh menjadi seorang mujtahid atau ahli ijma’ .
2. Harus beragama islam.
            Tidak mungkin dalam penetapan suatu hukum dilakukan oleh selain umat islam. Karena , mereka tidak mempunyai pemahaman yang benar tentang keislaman. Bukan penyelesaian yang didapat tapi distorsi yang akan menyesatkan umat. Seperti yang disinggung oleh Allah SWT. Bahwasanya kaum musyrik tidak akan pernah puas sebelum umat muhammad mengikuti jalan mereka.[12]
            Banayak kalangan orientalis-missionaris yang berusaha menyesatkan pemahaman hukum islam dengan memberikan stigma keliru kepada umat islam yang tujuan utamanya adalah untuk mengikis keimanan dan keislaman mereka, serta berusaha menfitalisasi hukum-hukum islam dengan penyalah pahaman orientalis. Ini juga sebagai tantangan dan pekerjaan rumah bagi kita selaku umat islam untuk meluruskan pemahaman umat yang buta akan hukum islam .Nabi Muhammad  SAW. bersabda:
             “La walakinnakum gutsaais saili yujalu alwahnu fii qulubikum wayunzau al ro’bu min qulubi aduwwikum lihubbikum al-dunya wa karaahiyatikum almaut”
Artinya:
            Tidak, akan tetapi kalian seperti buih air bah. Kelemahan muncul dalam hati kalian dan rasa takut hilang dari hati musuh kalian karena kecintaan kalian terhadap dunia dan ketakutan kalian terhadap kematian.[13].
3. Harus baligh
            Baligh menjadi syarat bagi ahli ijma’ karena pada saat itu manusia telah bisa berfikir dengan jernih ( bisa membedakan antara yang benar dan yang salah ). Seperti kita ketahui bahwa baligh itu adalah sampainya seseorang pada kewajiban hukum yang telah disyariatkan bagi umat islam pada umumnya. [14]sehingga penggunaan kebaligan seseorang akan meningkatkan kualitas serta kesadaran yang tidak didasari oleh ego dalam pemetaan hukum islam. Standarisasi baligh juga terdapat beberapa klarifikasi yang mana, tidak semua orang yang telah sampai pada tingkat kebalighan bisa menjadi mujtahid. Akan tetapi, seorang mujtahid juga harus memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
4. Harus berakal sehat.
            Syarat yang tidak boleh lepas dari seorang mujtahid adalah memiliki akal sehat, bukan hanya kesehatan dalam segi lahiriyah saja tapi lebih pada sifat kejelekan dari kefasikan seseorang. Seperti halnya sabda Nabi Muhammad SAW. “ qolam itu terangkat dari tiga perkara: orang tidur sampai bangun, orang yang lupa sampai sadar, dan orang yang gila sampai sembuh.” Dari hadits diatas bisa kita simpulkan bahwa tidak diterima ibadah dan tak tercatat dosa orang yang gila atau orang yang tidak berakal sehat, dan itu menjadi dasar pemahaman bahwa segala sesuatu yang keluar , baik perkataan, perbuatan dari orang yang tidak mempunyai kesadaran adalah ditolak dan tidak bisa diterima sebagai kaidah hukum. Juga termasuk dari rusaknya akal sehat adalah bentuk pemikiran yang telah dikuasai oleh menset negatif.
Meskipun tak ayal maraknya kalangan yang mengatas namakan satu ajaran yang didalamnya terdapat sebuah pemikiran keliru dari orang yang mempunyai keterbelakangan mental terutama pengaruh lingkungan yang terlalu berlebihan yang dia anggap sebagai sebuah kemusyakkatan atau kemudhoratan, sehingga, banyak bermunculan paham atau dogma hukum yang bersumber dari keterbelakangan sosial atau bentuk deskriminasi beberapa golongan. Seperti buku “gara-gara ulamak” dimana dalam buku itu terdapat beberapa kalimat yang berisi pemberontakan kepada para ulamak. Karena menurut  pendapatnya ulamak hanya ingin mendapatkan popularitas dengan berkedokkan agama dari keterlibatan mereka dalam pembentukan dan dengan cara yang seperti itu pula mereka ingin membuat sekat-sekat yang mampu menghapus kemurnian al-Quran sebagai sumber hukum islam. Dua hal ini adalah jenis dari rusaknya akal sehat.
5. ahli dalam istimbat hukum.
            Kata ahli yang disebutkan diatas adalah tingginya pemahaman tentang kaidah-kaidah dasar dari hukum islam serta rangcangan pembentukannya. Seorang akan bisa menjadi mujtahid dengan perbandingan dari segi keilmuan yang didapat dari berbagai jenis ilmu yang menjadi pendukung dari pembentukan hukum ijma’ tersebut. Seperti hafalan serta pemahaman hadits dan al-Quran, serta ilmu-ilmu lain seperti ulumul hadits, ulumul quran, tafsir, dll. Karena semua itu adalah bentuk persyaratan sehingga bisa dikatakan orang yang ahli dalam istimbat hukum.[15]
           
6. para ahli ijma’ harus berada pada zaman sesudah nabi Muhammad SAW.
Ijma’ itu tidak terjadi pada zaman ketika nabi Muhammad SAW.  hidup, karena nabi setia menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syariat.[16]pengetahuan keagamaan pada masa nabi sangat jelas dan tidak memerlukan ijmak sebagai tambahan tuntunan, karena nabi sebagai sumber pemetaan hukum akan memberikan penyelesaian hukum-hukum islam yang menjadi tugas nabi untuk memberikan penjelasan  hukum melalui hadits-haditsnya. Setelah nabi wafat, beliau memberi warisan yang harus dijaga oleh umat islam, yaitu al-Quran dan hadits sebagai dasar dari tatanan agama islam.
Semakin bergulirnya waktu, manusia dihadapkan oleh berbagai permasalahan-permasalahan ubudiyah yang tidak secara jelas dijelaskan oleh al-Quraan dan hadits, sehingga masih membutuhkan penafsiran dan beberapa pemetaan yang lebih luas dalam memberikan penyelesaian untuk masalah masalah tersebut.
Lima syarat diatas adalah kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid secara menyeluruh, maksudnya, seseorang akan dikatatkan seorang mujtahid atau bisa membentuk tatanan hukum dengan mencukupi dari ketentuan-ketentuan itu dengan tidak meninggalkan satu syarat pun dari lima syarat tersebut. Kriteria ini menjadi tolak ukur yang bukan hanya berlaku secara khusus. Akan tetapi,menjadi keumuman yang bisa diterima oleh siapa pun. Hal ini tak lebih hanya sebagai pelindung perisai dan pedang islam dalam menghadapi tantangan zaman, dan gempuran para pemuja setan. Selain hal itu kriteria ini juga memberikan gairah dalam bermanifestasi pahala untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki.
Seperti yang dijelaskan diatas, ijma’ memberikan peran yang sangat penting untuk memberi jalan yang seolah buntu untuk dijelaskan dengan al-Quran dan hadits. Sehingga, memerlukan adanya sumbangsih penafsiran para  ulama’ untuk mendapatkan istimbat hukum yang bisa diambil oleh umat islam. Banyak pengertian ijma’ yang berusaha didistorsikan dengan pemahaman sesat dan pengaruh dalam pemahaman yang sengaja disebarluaskan agar menjadikannya lebih bisa memanusiakan agama islam. Paradigma tersebut menjadi dalih mereka dalam menyesatkan pemahaman umat islam tentang arti memanusiakan agama. Hal ini menjadi dasar akan penolakan mereka dalam pemanusiaan agama. Menutut mereka identitas ideologi keislaman yang akan terhapuskan dengan indikasi kerja manusia yang relatif.
Sebagai salah satu usaha mereka adalah dengan merekrut anggota dengan melakukan pemurnian akal dengan berbaur dan memberi masukan keagamaan yang tidak pernah mereka sangka. Maraknya pemurnian ideologi baru yang dijadikan landasan pemikiran mereka yang sengaja disesatkan. Hanya dalil aqli dan naqli yang menjadikan dasar para ulama’ dalam keleluasan mereka untuk berfikir dan berfiir produktif.
H.    Obyek Ijma’
               Obyek Ijma’ adalah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-qur’an dan al-hadist. Peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah ghairu mahdah (ibadah yang tak langsung di tujukan kepada Allah SWT.) Bidang Muamalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-qur’an dan al-hadist. Dan sesuatu yang tidak ada di dalan Nash[17] .
               Terkait inventarisasi itu, ibnu Hazm menyebutkan, di bidang ibadah kesepakatan ulama antara lain menyangkut bab bersuci ihwal hukum menggunakan air mengalir. Misalnya, ulama sepakat boleh dipergunakan selama tidak tercampur najis yang mengubah kesuciannya. Hal yang sama juga berlaku untuk status air yang mengendap. Jika volume air banyak selama tidak ada barang najis yang mengubah warna, rasa, dan baunya, ulama sepakat air itu suci dan mensucikan.
               Di sepakati pula, benda cair yang boleh di gunakan sebagai media berwudhu’  hanya air dan anggur. Bagi yang berhalangan tidak diperbolehkan menggunakan air  untuk berwudhu’ seperti akibat sakit, maka ijma’ mengatakan sah dan boleh bertayamum.  Terkait dengan bilangan berwudhu’ atau tayamum, di sepakati tak ada makna apapun di atas jumlah bilangan tiga kali mengusap ataupun membasuh. Dalam hal shalat, beberapa konsekuen yang berhasil dihimpun oleh ibnu Hazm ialah :
Ø  Shalat lima waktu
Bilangan rakaat shalat subuh, Misalnya-baik ketika kondisi aman maupun krisis, seperti dalam kondisi perang dan bencana, bepergian ataupun tidak, jumlahnya tak akan pernah berubah yakni tetap dua rakaat. Tidak boleh menunda shalat di penghujung waktu dengan sengaja, sekalipun boleh di tunaikan dengan kondisi dan kemampuan fisiknya, seperti duduk, berbaring, atau dengan mengegerakkan isyarat anggota tubuh. Demikian halnya dengan kewajiban menghadap kiblat bagi yang memungkinkan dan mengetahui arahnya, selama dalam kondisi aman dan tidak berada di suasana krisis[18].
Menyangkut muamalat, kesepakatan yang di sebutkan  oleh ibnu Hazm antara lain tentang  hukum barang titipan (Wadiah).  Setiap pihak yang di berikan amanah barang titipan wajib mengembalikannya. Apabila barang itu digunakan untuk sebuah transaksi, misalnya digadaikan atau di sewakan, maka tetap mempunyai keharusan menyerahkan penuh seperti sedia kala atau seperti semula. Ketika barang yang di titipkan telah di kembalikan, secara otomatis yang bersangkutan tak lagi mempunyai tanggungan apapun.
              Tentang jual beli, di sepakati beberapa hal diantaranya barang yang di perjual belikan adalah hak milik penuh.  Jika tidak,  di seoakati transaksi dinyatakan tidak sah. Selanjutnya dalam soal jual beli, kedua belah pihak harus mengetahui barang yang di maksud baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Transaksi jual beli di anggap tidak sah jika dilakukan atas dasar paksaan atau dalam kondisi tak sadar seperti sedang mabuk. Barang yang di jadikan obyek transaksi tidak boleh sesuatu yang di haramkan termasuk perkara najis.
Menurut Imam Syafi’ie obyek ijma’ adalah sesuatu yang bisa sah dijadikan sebagai obyek ijma’. Dalam kitab Al-Umm imam Syafi’ie berkata “Ijma’ adalah Hujjah atas segala sesuatu, karena tidak mungkin ada kekeliruan dalam ijmak”.
v  Ijma’ di abad modern
Apakah mungkin meneliti ijma’ di masa sekarang?[19]
Menurut imam Syafi’ie, penelitian ijma’ di masa sekarang ini, bukan merupakan sesuatu hal yang mustahil atau susah. Selagi ada niat yang suci, tekad yang bulat, keinginan yang kuat, dan metode yang berpola di kalangan para ulama’ dan ahli fiqih, maka halangan yang melintang dan menghadang tercapainya kesepakatan para ahli fiqih dan para ulama’ dulu untuk sampai pada ijma’ bisa di hilangkan dengan pola kerja sama. Masalah utama yang mereka hadapi adalah sulitnya menjalin komunikasi di antara mereka dulu.
I.       Kehujjahan Ijma’ menurut Pandangan Para Ulama’
      Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’, misalnya apakah ijma’ itu syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan ushul fiqih atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
      Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat yaitu:
·         Al-Bardawi berpendapat bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam syarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
·         Al-Amidi berkata bahwa para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib di amalkan. Sedangkan pendapat itu bertentangan dengan syi’ah khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.
·         Al-Hijab berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat nizam, khawarij, dan syi’ah.
·         Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah.
·         Dalam kitab Qawaidzul Ushul dan Ma’aqidul Ushul dikatakan bahwa ijma’ itu adalah hujjah setiap masa.
·         Daud berpendapat bahwa ijma’ itu terjadi hanya pada masa sahabat.
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan di tinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
1.Kehujjahan Ijma’ Sharih
   Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahn maka ia akan menjadi hukum qath’i yang tidak boleh di tentang, dan menjadi masalah yang tidak boleh di ijtihadi lagi.
Ø  Dalil-Dalil yang di keluarkan oleh jumhur
Jumhur mengeluarkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapat tentang kehujjahan ijma’ antara lain :
Pertama, Firman Allah SWT, Surah An-Nisa’ ayat 115 yang artinya :
“ Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah di kuasainya itu dan kami masukan ia ke dalam jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”
     Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Disebutkan bahwa mereka akan di masukan ke dalam neraka jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukan bahwa jalan yang di tempuh orang-orang yang tidak beriman itu adalah bathil dan haram di ikuti. Sebaliknya, jalan yang di tempuh oleh orang-orang mukmin adalah hak dan wajib di ikuti.
      Itulah arti tekstual ayat, yang sesuai dengan azbab nuzulnya, bahwa ayat itu turun berkaitan, dengan Bashir bin Ubairiq yang masuk islam. Tetapi kemudian ia mencuri. Maka nabi memerintahkan untuk memotong tangannya, tetapi ia bisa kabur ke mekah dengan memanfaatkan kelengahan orang-orang beriman. Di mekah, dia juga berusaha untuk mencuri dengan cara melubangi dindingnya, dan ia pun mati dalam keadaan kafir.
      Dengan demikian, jelaslah bahwa ayat di atas bukan dalil tentang ijma’. Pengarang At-Tahrir berkata bahwa, imam Syafi’i meng-istinbath hukum dari dalil di atas dan menyatakan bahwa dalil itu menunjukan kehujjahan ijma’.
Kedua, firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 143 yang artinya :
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu umat (umat islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia.”
       Ayat tersebut di kemukakan oleh Al-Amidi. Kehujjahan dari ayat tersebut adalah keadilan mereka (para mujtahid) yang menjadi hujjah bagi manusia untuk menerima pendapat mereka. Seperti halnya menjadikan Rasul sebagai hujjah dengan menerima sabdanya. Dengan mengartikan seperti itu, jelas bahwa pendapat mereka merupakan hujjah bagi yang lainnya.
Ketiga, firman Allah SWT dalam surah Al-Imran ayat 110 yang artinya :
“kamu adalah umat yang terbaik yang di lahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.”
         Menurut pemberi syarah kitab Al-Baidawi bahwa Allah SWT. Memberitahukan keutaman mereka dengan menggunakan isim tafdil. Karena arti khair itu sama dengan tafdil. Hal itu menunjukan bahwa kesepakatan mereka juga merupakan haq. Kalau tidak menunjukan haq, mereka pasti akan memerintahkan berbuat kejelekan dan melarang berbuat baik. Bila perbuatan mereka seperti itu berarti sama sekali tidak ada unsur kebaikannya bahkan menyalahi Nash.
Keempat, firman Allah SWT dalam surah Al-Imran ayat 103, yang artinya :
“...Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai...”
           Kehujjahan ayat tersebut bahwa Allah SWT melarang untuk berpecah belah. Sedangkan menentang ijma’ adalah salah satu bentuk perpecahan, sehingga jelas sekali bahwa hal itu di larang. Dengan demikian, ijma’ itu merupakan hujjah sebagaimana larangan untuk mengingkarinya.
Kelima, firman Allah SWT, surah An-Nisa’ ayat 59 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu...”
          Kehujjahan ayat di atas adalah bahwa adanya pertentangan merupakan syarat di kembalikannya permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, syarat tersebut tidak akan ada bila telah terjadi kesepakatan terhadap hukum yang di ambil dari kitab dan sunnah. Oleh sebab itu, tidak di ragukan lagi bahwa ijma’ itu merupakan hujjah.
Keenam, Hadist-hadist yang menunjukan terjaganya ijma’ islam dari kesalahan bila bersepakat dalam satu perkara, di antaranya hadist-hadist di bawah ini yang artinya :
“kekuatan Allah berada pada jamaah, barang siapa menguatkannya, maka ia telah menyempitkan dirinya dari neraka.”
“Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkannya ijma’ pada kesesatan.”
“Tidak akan berkumpul ijma’ pada hal yang salah.”
“Tidak akan melihat kaum mukmin kepada kebaikan, kecuali Allah pun menganggapnya baik.”
         Semua hadist di atas di riwayatkan oleh para perawi tsiqat, meskipun ada sebagian yang meruapak hadist ahad, namun bisa di kategorikan hadist mutawatir, yakni menjaga ijma’ islam dari kesalahan. Sedangkan, mutawatir ma’nawy pada hakikatnya sama dengan mutawatir lafdzi.
Ø  Dalil-Dalil yang di keluarkan Nidzam dan para pengikutnya.
Ibrahim bin nidzam, penentang adanya ijma’ dan para pengikutnya, memberikan dalil-dalil sebagai berikut :
Pertama, firman Allah SWT, surah An-Nisa’ 59 yang artinya :
“Hai. Orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulilamri di antara kamu...”
Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan untuk mengembalikan segala bentuk pertentangan kepada Allah adalah kembali kepada Al-Qur’an, sedangkan yang di maksud mengembalikan kepada Rasul adalah mengembalikan  kepada Rasulullah sewaktu beliau masih hidup dan kepada sunnah kalau beliau wafat Allah SWT tidak akan memerintahkan untuk mengembalikan kepada ijma’ mujtahidin. Hal itu karena menunjukan bahwa ijma’ mereka tidak bisa di sentuh Hujjah.
Keterangan di atas di jawab jumhur, bahwa ayat tersebut adalah hujjah bagi semua (penentang ijma’) bukanlah Hujjah untuk kita. Ayat di atas telah mewajibkan untuk mengembalikan berbagai ikhtilaf (pertentangan) kepada Allah dan Rasul. Adapun Hujjah ijma’ dari pertentangan yang terjadi di antara kita wajib di kembalikan kepada Al-Qur’an dan sunah Rasul. Mengamalkan perintah ayat di atas menunjukan bahwa ijma’ itu hujjah. Berdasarkan ayat tersebut juga kita bisa mengatakan bahwa ijma’ adalah Hujjah.
Kedua, Ssungguhnya nabi Muhammad SAW ketika bertanya kepada muadz bin jabal tentang dalil yang akan di jadikan sandarannya, tidak di sebutkan adanya ijma’ dan Rasul telah menyepakatinya. Kalau ijma’ sebagai Hujjah maka harus ada ketetapan hukumnya dari Rasul, menjaga Rasul tidak menetapkan adanya ijma’.
Kalau di telaah secara teliti, dari kedua golongan yang bertentangan tentang kehujjahan ijma’ tersebut, tidak ada yang dapat di pegang landasan hukumnya. Namun, yang di anggap paling betul adalah dalil yang mewajibakn kepada kita untuk berpegang pada ijma’ dan melarang untuk mengingkarinya.
B.Kehujjahan ijma’ Sukuti
Ijma’ Sukuti telah di pertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama’. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai Hujjah, bahkan tidak menyatakan sebagai ijma’. Diantara mereka adalah pengikut Maliki dan imam Syafi’ie yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Sebagian besar golongan Hanafi dan imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid lainnya bila memenuhi syaratnya ijma’ sukuti.




[1] Prof. DR. Rachman Syafi’i, M.Ag, Iilmu Ushul Fiqih,(Bansung: CV Pustaka Setia, 2010), Hal: 68
[2] Ibid...... Hal: 69
[3] Ibid...............
[4] Zamakhsyari Mahendra, Syarah al-Warokot fi Ulumi Usulul Fiqh,(Madura: Banyuanyar press2000), Hal: 43
[5] Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, dkk, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami, (Bandung : Al-Ma’arif,1986), hlm. 58-66.

[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997), hal 21

[7] Drs. H.M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Surabaya : Bina Ilmu,1990), hal 77

[8] Ibnul Farkah, Tajuddin, syarakh al-waroqot, (beirut , libanon, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah ,1971). Hal: 79
[9] Prof. DR. Rachman Syafe’i, MA, ilmu ushul fiqih,(Bandung, Pustaka Setia, 2010), Hal: 71
[10] Hadits Imam Turmudziy, dari Ibnu Umar, Sunan al-Turmdzi, (beirut , libanon, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah ,1971).  hal : 305
[11] Wahbah, ushul fiqh , , (beirut , libanon, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah ,1971). Hal : 524
[12] Abdul Hamid, lathaif, (surabaya,indonesia,al-hidayah, 2000). Hal: 46
[13] Imam Abu Abdillah bin Ahmad Al-Anshori Al-qurtubi, al-jami’ li ahkam al-qur’an ,(Darul fikr oman ) hadits No. 8.1 83
[14] Lathaif, Loc-Cit.
[15] Lathaif......, Ibid
[16] Loc-Cit....ilmu ushul fiqh
[17] Syekh Muhammad bin Shalih Al-Ustmani, Ushul Fiqih (Jogjakarta:Media Hidayah.2008)
[18] Fathur-Rohman, Pembinaan Hukum Ilmu Ushul Fiqih Islam (Bandung:Al-Ma’arif.1993)
[19] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung:CV.Pustaka Setia.2007) Hal.23

Related Post :