PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tujuan
pendidikan ialah memanusiakan manusia. Bahasa Paulo Friere tersebut kiranya
pantas untuk memulai bahasan pendidikan tanpa kekerasan dalam bab berikutnya.
Konsep Paulo Freire di atas merupakan bagian dari ideologi pendidikan kritis
radikal.
Kaitannya dengan
pendidikan tanpa kekerasan yang akan dibahas dalam makalah ini, kita ketahui
bersama bahwa kekerasan dalam pendidikan bertolak belakang dengan tujuan
pendidikan yang digagas oleh Paulo Freire.
Fakta di
lapangan, hingga kini kekerasan dalam dunia pendidikan tidak bisa betul-betul
dihilangkan dari corak pendidikan kita. Ironis memang, ketika pendidikan
sejatinya merupakan wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang paripurna justru mematikan kreativitas dan potensi peserta
didik sebab kekerasan yang menimpa dirinya.
Salah satu
konsep yang ditawarkan dalam makalah ini ialah pendidikan damai. Konsep dalam
pendidikan damai tersebut diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif untuk
mengatasi kekerasan dalam pendidikan sehingga tidak menjadi fenomena yang
berkelanjutan di kemudian hari.
B.
Rumusan
Masalah
1. Seperti
apakah kekerasan yang dalam pendidikan ?
2. Bagaimanakah
konsep pendidikan damai guna menwujudkan pendidikan tanpa kekerasan ?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mendeskripsikan kekerasan yang terjadi dalam pendidikan.
2. Untuk
mengetahui konsep pendidikan pendidikan damai guna merealisasikan pendidikan
tanpa kekerasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kekerasan
dalam Pendidikan
Menurut Assegaf,
kekerasan dalam pendidikan didefinisikan sebagai sikap agresif pelaku yang
melebihi kapasitas kewenangan-kewenangannya dan menimbulkan pelanggaran hak
bagi si korban.[1]
Jika berbicara sikap terhadap seseorang, maka hal itu terkait dengan Hak Asasi
Manusia (HAM). Perilaku yang berkategori agresif dan melanggar HAM maka itu
dapat dikategorikan sebagai perilaku kekerasan.
Kekerasan dapat
terjadi di mana saja. Bahkan di lembaga yang sebenarnya ada untuk mengembangkan
potensi manusia seperti pendidikan.
Dalam Deklarasi
Universal HAM (Universal Declaration of
Human Rights) pasal 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh
pendidikan.[2]
yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, kemampuan, ras, budaya, bahkan
agama. Namun dalam prakteknya, masih saja ada deskriminasi terhadap mereka yang
dianggap tidak berhak memperoleh pendidikan yang layak. Tak jarang deskriminasi
yang terjadi, dalam bentuk kekerasan.
Di dalam
pendidikan, sering kali ada bentuk perhargaan dan hukuman. Siapa yang benar dan
melakukan kebaikan akan mendapat hadiah atau penghargaan. Sebaliknya siapa yang
salah dan melakukan tindakan yang dilarang akan mendapat hukuman.[3]
Konsep hukuman
dan ganjaran saat ini dirasa kurang pas lagi untuk diterapkan dalam praktek
pendidikan. Hal itu disebabkan hukuman utamanya sangat berdampak negatif
terhadap psikologi peserta didik. Apalagi itu hukuman tersebut berupa kekerasan
baik itu fisik maupun psikologis.
Menurut Clanzic,
hukuman dan ganjaran dalam dunia pendidikan pada dasarnya mematikan inisiatif
belajar, mempengaruhi jiwa anak, dan karenanya hukuman dan ganjaran adalah
tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan menimbulkan permusuhan. [4]
Kekerasan dalam
dunia pendidikan akhir-akhir ini menjadi
isu hangat di kalangan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, tindak kekerasan
kerap kali terjadi ibarat jamur di musim hujan. Tumbuhya tidak dapat
dikendalikan. Adalah sebuah ironi, ketika pendidikan yang seharusnya mampu
memberikan pencerahan terhadap anak bangsa justru menjadi hal yang bagi
kebanyakan peserta didik sangat menakutkan.
Ada beberapa
jenis kekerasan yang kerap kali terjadi dalam dunia pendidikan. Jenis-jenis
kekerasan tersebut tentu member noda hitam tersendiri bagi dunia pendidikan.
Karena kekerasan yang terjadi tersebut memberi dampak ke berbagai aspek
kehidupan. Mulai dari kehidupan sosial, budaya, hukum, bahkan dampak
psikologis.
Menurut Nurani
Soyomukti ada empat jenis kekerasan yang kerap kali terjadi dalam dunia
pendidikan, sebagai berikut:
1. Kekerasan
antar pelajar dalam lembaga pendidikan yang sama.[5]
Kekerasan antar
pelajar sudah menjadi kejadian yang biasa karena seringnya terjadi dan
beragamnya bentuk kekerasan. Ragam tersebut berupa kekerasan fisik seperti
memukul, memeras dan merusak barang milik sesama pelajarnya, atau berupa
kekerasan mental seperti mencaci, menghina, meremehkan, dan sebagainya.
2. Perpeloncoan
dan hubungan senioritas-junioritas.[6]
Perpeloncoan
sering kali terjadi pada siswa/mahasiswa baru di suatu lembaga pendidikan.
Mereka (peserta didik baru) sering kali diperlakukan semena-mena oleh kakak
seniornya. Dengan alasan untuk melatih mental, siswa/mahasiswa baru
diperlakukan secara kasar bahkan beberapa kasus sampai terjadi kontak fisik.
Sebagian lagi, prilaku perpeloncoan ini hingga menyebabkan kematian terhadap peserta
didik baru.
Hal ini sudah
menjadi ironi yang mana kegiatan sejenis orientasi almamater justru menjadi
lahan perpeloncoan yang berujung pada tindak kekerasan.
3. Tawuran
pelajar dan mahasiswa.[7]
Tawuran pelajar
sudah menjadi hal yang dianggap biasa terjadi di kalangan pelajar, utamanya
tingkat SLTA. Tawuran pelajar ini kerap kali merusak sistem sosial karena juga
berdampak pada masyarakat sekitar tempat tawuran.
Jika tawuran
terjadi di jalan raya, maka hal ini sanagat mengganggu terhadap pengguna jalan.
Juga bila terjadi di sekitar pemukiman masyarakat, akan sangat mengganggu
terhadap kenyamanan masyarakat sekitar.
Tawuran juga
kerap kali menyebabkan pelakunya membuat masa depannya sendiri suram. Ini
disebabkan tawuran melibatkan obat-obatan terlarang untuk memunculkan
keberanian. Penggunaan psikotropika secara ilegal tentunya akan melibatkan
aparat polisi jika hal ini terungkap.
Tawuran kemudian
tidak hanya berdampak secara sosial dan psikologis, tetapi juga menyebakan
pelakunya mengancam masa depan dirinya.
4. Kekerasan
pendidik pada siswa.[8]
Kasus kekerasan
pendidik kepada siswa ini menjadi ironi yang patut disesalkan oleh seluruh
elemen masyarakat pendidikan, baik itu pemerintah, siswa, orang tua siswa,
bahkan pendidik itu sendiri.
Kekerasan yang
dilakukan pendidik menunjukkan noda hitam pendidikan di Indonesia khususnya.
Karena pendidikan yang harapannya memberi fasilitas kepada peserta didik untuk
menjadi manusia yang lebih baik justru memberi trauma psikologis dalam mental
peserta didik.
Trauma mental
peserta didik akibat kekerasan pendidik memberi dampak psikologis yang cukup
signifikan terhadap motivasi siswa untuk bersekolah. Bisa saja akibat kekerasan
tersebut menyebabkan siswa enggan untuk masuk sekolah.
5. Pelecehan
seksual di sekolah.[9]
Pelecehan
seksual bisa terjadi sesama peserta didik maupun oleh pendidik terhadap peserta
didik. Seks merupakan naluri manusia. Pelecehan seksual sudah merupakan tindak
kriminal. Apalagi jika ini terjadi di dunia pendidikan, maka nama baik
pendidikan akan semakin hancur. Apalagi tidak jarang pelecehan seksual justru
dilakukan oleh guru terhadap peserta didiknya. Guru yang seharusnya memberi
teladan yang baik, mencoreng nama mulia guru yang diamanahi tugas mendidik.
Salah satu
dampak kekerasan pada anak bila merasa tidak enak (upset) seorang anak yang menjadi saksi atau korban kekerasan akan
cenderung untuk menunjukkannya dengan tingkah laku daripada membicarakan
kesulitannya.[10]
Seorang anak yang memperoleh tindak kekerasan cenderung tidak terbuka dalam
mengungkapkan apa yang ia rasakan, baik itu karena sekadar takut atau trauma.
Padahal, jika anak sudah tidak bisa
bersikap terbuka, pendidik tidak akan tahudengan pasti apa yang ia inginkan
atau rasakan. Akibatnya, akan menghambat terhadap proses pendidikan.
Bahkan kemungkinan
anak akan berprilaku agresif hingga menentang terhadap nilai-nilai pendidikan
yang dianggapnya sebagai salah satu penyebab kekerasan terjadi pada dirinya.
Selanjutnya, kekerasan dalam pendidikan yang awalnya ia peroleh akan ditiru dan
dipraktekkan dalam kehidupan mendatangnya.
Kekerasan dalam
pendidikan yang telah menjadikan buruk wajah pendidikan kita perlu segera
diatasi sehingga tidak menjadi masalah yang semakin menghawatirkan dan
berkelanjutan. Cara untuk menaggulangi kekerasan dalam pendidikan ialah dengan
membersihkan pendidikan dari praktek-praktek kekerasan. Salah satu konsep yang
dapat menjadi alternatif ialah konsep “Pendidikan Damai” yang akan dibahas
lebih luas pada pembahasan berikutnya.
B.
Pendidikan
Damai Sebagai Salah Satu Alternatif Solusi
Kata damai (peace) memiliki beberapa arti, seperti
bebas dari (freedom from); genjatan
senjata dari perang (cessation of war);
perjanjian damai antara dua kekuatan yang sebelumnya berperang (ratification or treaty of peace between
powers previously at war). [11]
Secara ringkas, jika pembahasan dalam pembahasan sebelumnya merupakan kekerasan
yang terjadi dalam pendidikan, maka konsep damai pada titik ini ialah
pembebasan pendidikan dari kekerasan. Sebetulnya peace ini mencakup seluruh aspek kehidupan mengingat kekerasan juga
terjadi pada setiap aspek kehidupan. Namun untuk pembahasan ini, fokus pada
damai dalam pendidikan (peace in
education), atau pendidikan damai.
Secara khusus
UNICEF (United Nations Intenational
Children’s Emergency Found) dan UNESCO (United
Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) proaktif
menyarakan pendidikan damai yang dalam seri lembar kerja UNICEF Juli 1999
dimaksudkan untuk hal-hal sebagai berikut:[12]
1. Berfungsi
sebagai “zona damai” di mana anak merasa aman dari konflik kekerasan;
2. Melaksanakan
hal dasar anak sebagaimana digariskan dalam konvensi hak anak (CRC);
3. Mengembangkan
iklim belajar yang damai dan prilaku saling menghargai antara anggota
masyarakat.
4. Menunjukkan
prinsip persamaan dan tanpa deskriminasi baik dalam prkatek maupun kebijakan
administrasinya;
5. Menjabarkan
pengetahuan tentang bentuk perdamaian yang ada di tengah masyarakat termasuk
berbagai sarana yang menyangkut adanya konflik, secara efektif, tanpa
kekerasan, dan berakar dari budaya lokal;
6. Menangani
konflik dengan cara menghormati hal dan martabat pihak yang terlibat;
7. Memadukan
pemahaman tentang damai, HAM, keadilan sosial dan berbagai isu global melalui
sarana kurikulum, bila hal itu dipandang memungkinkan;
8. Menyediakan
forum diskusi tentang nilai damai dan keadilan sosial;
9. Memanfaatkan
metode belajar mengajar yang menekankan pada partisipasi, Cupertino, problem solving, dan lainnya yang dapat
menghargai perbedaan;
10. Memberdayakan
anak agar dapat mengamalkan perilaku damai dalam lingkungan pendidikan dan di
masyarakat pada umumnya;
11. Memperluas
kesempatan untuk melakukan refleksi berkelanjutan dan pengembangan keahlian
semua pendidik sehubung dengan isu perdamaian, keadilan dan hak seseorang.
Sedangkan salah satu
tujuan jangka panjang UNESCO adalah membentuk sistem pendidikan yang
komprehensif bagi HAM, demokrasi, dan budaya damai.[13]
Dari literatur
di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan damai berdasar pada HAM dan demokrasi.
Hal ini juga berpengaruh terhadap muatan kurikulum yang hendak diajarkan
terhadap peserta didik dalam pendidikan damai. Kurikulum dalam pendidikan damai
ialah sebagai berikut:
Penjabaran tentang materi dan metode dalam
pendidikan damai adalah sebagai berikut. Pertama,
pendidikan damai memuat materi pengetahuan (knowledge) yang meliputi mawas diri, pengakuan tentang prasangka,
berbagai isu lainnya seperti konflik dan perang, damai tanpa kekerasan,
lingkungan dan ekologi, nuklir dan senjata lainnya, keadilan dan kakuasaan,
teori resolusi, pencegahan dan analisa konflik, budaya, ras, gender, agama, isu
HAM, sikap tanggung jawab, pengaruh globalisasi, masalah buruh, kemiskinan
danekonomi internasional, hukum internasional dan mahkamah keadilan, PBB,
instrument, standar dan sistem internasional, perawatan kesehatan, masalah HIV
Aids, dan jual beli obat terlarang. Kedua,
muatan materi keterampilan (skill) dalam pendidikan damai meliputi
komunikasi, kegiatan reflektif pendengaran aktif, kerjasama, empati dan rasa
halus, berpikir kritis dan kemampuan problem
solving, apresiasi nilai artistik dan estetika, kemampuan menengahi
sengketa, negosiasi, dan resolusi konflik, sikap sabar dan pengendalian diri,
menjadi warga yang bertanggung jawab, penuh imajinasi, kepemimpinan ideal, dan
memiliki visi. Ketiga, muatan materi
nilai atau sikap (attitude) dalam
pendidikan damai meliputi: kesadaran ekologi, penghormatan diri, sikap
toleransi, menghargai martabat manusia beserta perbedaannya, saling memahami
antara budaya, sensitif gender, sikap peduli dan empati, sikap rekonsiliasi dan
tanpa kekerasan, tanggung jawab sosial, solidaritas, resolusi berwawasan
global. [14]
Sedangkan di ruang
kelas, pendidikan damai diarahkan untuk mengembangkan keterampilan, sikap dan
pengetahuan anak melalui metode belajar partisipatoris kooperatif, serta
suasana saling toleransi, peduli dan menghargai. Melalui kegiatan dialog
eksplorasi, guru bersama murid melakukan petualangan belajar interaktif.[15]
Suasana dan
tujuan pembelajaran betul-betul diarahkan untuk menghindari serta menyelesaikan
konflik secara damai, tanpa kekerasan. Peran guru dan pendidik lainnya (kepala
sekolah, karyawan, orang tua, dan masyarakat) sangat penting guna mewujudkan
pendidikan damai. Sebab itu, pendidik harus betul-betul memahami perihal HAM,
demokrasi, dan pendidikan damai itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan menjadi sebuah ironi yang kerap kali
terjadi di tengah-tengah pendidikan yang memiliki tujuan mulia yakni
mengembangkan potensi peserta didik hingga menjadi insan yang paripurna.
Kekerasan tersebut antara lain kekerasan antar pelajar dalam lembaga pendidikan
yang sama, perpeloncoan dan hubungan
senioritas-junioritas, tawuran
pelajar dan mahasiswa, kekerasan pendidik pada siswa, dan pelecehan seksual di
sekolah. Semua itu harus segera ditanggulangi salah satunya dengan konsep
pendidikan damai.
Pendidikan damai
merupakan konsep pendidikan yang menjadi lawan dari kekerasan. Dasar dari
pendidikan damai ialah penjunjung tinggian HAM dan demokrasi. Hal itu juga
berdampak pada kurikulum yang diberikan kepada siswa sarat dengan muatan
ilmu-ilmu sosial yang bersifat huministik. Pendidik dalam pendidikan damai
tentu harus betul-betul memahami tentang Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi,
dan pendidikan damai.
B.
Saran
Kekerasan dalam pendidikan
bukan saja berdampak fisik. Tetapi mengakibatkan dampak psikologis yang cukup
beresiko terhadap peserta didik. Untuk itu, karena di Indonesia tidak satu pun
yang menerapkan kurikulum pendidikan damai, hendaknya setiap pendidik maupun
sesama peserta didik menghindari tindakan kekerasan dalam bentuk apapun, baik
fisik maupun psikologis.
DAFTAR PUSTAKA
Aluhajir,
As’aril. Ilmu Pendidikan Perspektif
Kontekstual. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Assegaf,
Abd. Rachman. Pendidikan Tanpa Kekerasan:
Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep. Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004.
Ch,
Mufidah. Psikologi Keluarga Islam
Berwawasan Gender. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Setiawan,
Beni. Agenda Pendidikan Nasional. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008.
Soyomukti,
Nurani.Teori-Teori Pendidikan. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2010.
[1] Ar’aril
Aluhajir. Ilmu Pendidikan Perspektif
Kontekstual (Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 33
[2] Abd. Rachman
Assegaf. Pendidikan Tanpa Kekerasan:
Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm.
83
[3] Beni Setiawan. Agenda Pendidikan Nasional (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 131
[4] Ibid. Mengutip
dari: Nurul Huda, SA: 2002
[5] Nurani
Soyomukti.Teori-Teori Pendidikan
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)., hlm. 74
[6] Ibid., hlm.79
[7] Ibid., hlm.83
[8] Ibid., hlm.85
[9] Ibid., hlm.89
[10] Mufidah Ch. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang:
UIN Malang Press, 2008), hlm. 334
[11] Lihat The Reader’s Digest Great Encyclopedic
Dictionary Vol. 2 (London: Oxford University Press, 1970), hlm. 648-649
yang dikutip oleh: Abd. Rachman. Pendidikan
Tanpa Kekerasan., hlm. 77-78
[12] Ibid., hlm. 85-86
[13] Ibid., hlm. 86
[14] Ibid., hlm. 94
[15] Ibid.