PEMBAHASAN
A. Pengertian
ijma’
Definisi ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:
1. Bermaksud
atau berniat (azm) sebagai firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat yunus ayat 71
yang artinya:
“dan
bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh diwaktu dia berkata kepada kaumnya,
“hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku
(kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karna
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakannya. Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Lalu
lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tanggu kepadaku.” (QS.Yunus:71).
Maksudnya, semua pengikut nabi Nuh dan
teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh dan hadits Rasulullah
SAW. yang artinya, “barangsiapa yang
belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar maka puasanya tidak sah.[1]”
2. Kesepakatan
terhadap sesuatu (ittifaq), artinya suatu kelompok bisa dikatakan berijma’ jika
mereka bersepakat terhadap sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam surat Yunus
ayat 15 yang artinya:
“maka tatkala mereka membawanya dan
sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan (diwaktu
dia berada didalam sumur)kami wahyukan kepada yusuf, ”
sesungguhnya kamu akan menceritakan
kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.”
(QS.Yusuf: 15)
Yakni
mereka bersepakat terhadap rencana tersebut.
Adapun
perbedaan antara kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh
satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua
orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.[2]
Definisi ijma’ menurut istilah:
Para ulama’ ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’
menurut istilah, diantaranya:
1. Pandangan
kitab fushulul bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua
mujtahid dari ijma’ umat muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat
terhadap huku syara’.
2. Penagarang
kitab tahrir, Al-kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan
mujtahid suatu masa dari ijma’ muhammad SAW. terhadap masalah syara’.[3]
B. Dasar
hukum ijma’:
1. Al-Qur’an
Al
quran adalah hujah pertama hukum islam yang harus jadi pegangan bagi umat Muhammad
SAW. al quran mendapat kedudukan pertama dan utama adalah karena keotentikan al
qur’an masih sangat terjaga dan kemutawatirannya yang tidak lagi diragukan. Itu
juga berlaku dalam penerapan kinerja dari ijma’ itu sendiri. Ijmak adalah salah
satu dari usaha pemetaan hukum islam dengan kata lain ijma’ adalah model
perluasan dari semakin kompleknya masalah kehidupan.
2. Hadits
Hadirnya
hadits dalam tatanan hukum islam juga
mempunyai peran yang sangat kuat dalam memberikan pemahaman yang lebih dalam
teks al quran yang masih sangat simpel dalam memberi pemahaman keagaman.
Sehingga, butuh penjelas yang bisa menjadi sarana penyelesaian masalah yang ada
diantara masyarakat. Hadits adalah jenis dari wahyu yang tidak secara langsung
diambil dari tuhan akan tetapi pemaknaanya saja yang otentik dari tuhan.[4]
3. Akal
pikiran
Setiapijma’
yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas
pokok ajaran islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah
mengetahui dasar-dasar pokok ajaran islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam
berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan
dalam berijtihad itu ia menggunakan nash maka ijtihadnya tidak boleh melampaui
batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam
berijtihad, ia tidak menemukan satu nash pun yang dapat dijadikan dasar
ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum
agama islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti
qias, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang
demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh
menyimpang atau menyalahi al quran dan al hadits, karena semuanya dilakukan
berdasar petunjuk dari kedua dalil itu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan
seperti ketentuan diatas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan tentulah hasil
pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih
utama diamalkan.
Ijma’ adalah merupakan model hukum
yang diperoleh dari metamorfosa al quran dan hadits dimana ada beberapa syarat
akan hadirnya ijma’ serta yang bisa menjadi tolak ukur untuk keabsahan dari
ijma’ itu sendiri.
C.
RUKUN-RUKUN
IJMA’
Dari
definisi dan dasar hukum ijma’ diatas, maka ulamk ushul fiqh menetapkan
rukun-rukun ijma’ sebagai berikut:
1. Harus
ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid
itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu). Seandainya
tidak ada beberapa orang mujtahid diwaktu terjadinya suatu peristiwa tentulah
tidak akan terjadi, karena ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
2. Yang
melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh
mujtahid yang ada dalam dunia islam jika kesepakatan itu hanya dilakukan
oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepatan yang
demikian belum dapat dikatakan suatu ijma’.
3. Kesepakatan
itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sepakat dengan
mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara’) dari suatu peristiwa yang
terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersesat dalam kesepakatan itu
unsur-unsur paksaan atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan.
Sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepatan itu dapat dilakukan
dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau
dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum
yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang
terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan oleh para
mujtahid.
4. Kesepakatan
itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid seandainya
terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian mujtahid yang ada maka keputusan yang
demikian belum pasti itu ijma’. Ijma’ yang demikian belum dapat dijadikan
sebagai hujjah syariah.
D. SYARAT-SYARAT IJMA’
Dari definisi ijma’ di atas dapat di
ketahui bahwa ijma’ itu bias terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah
ini;
1.Yang
Bersepakat adalah Para Mujtahid
Para ulama berselisih faham tentang
istilah mujtahid, secara umum mujtahid itu di artikan sebagai para ulama yang
mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam
kitab Jam’ul Jawami di sebutkan bahwa yang di maksud mujtahid
adalah orang yang faqih. Dalam Sulam Ushuliyin kata mujtahid dig anti dengan
istilah ulama ijma’, sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazim dan Hikam.
Selain pendapat di atas, ada juga
yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, dan istilah ini sesuai
dengan pendapat Al-Wadih dalam kitab Isbat bahwa mujtahid yang di terima
fatwanya adalah ahlu Al-Halli wal aqdi.
Beberapa pendapat tersebut
sebenarnya mempunyai kesamaan bahwa yang di maksud mujtahid adalah orang islam
yang balig, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dan
sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang
awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa di
katakan ijma’, begitu pula penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam
menelaah hukum-hukum syara’.
Maka apabila dalam suatu masa tidak
ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, tidak akan terjadi ijma’.
Meskipun ada tetapi hanya satu orang, itu pun tidak bisa di katakan ijma’, karena
tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. Dengan demikian, suatu
kesepakatan bisa di katakana ijma’ bila dilakukan oleh tiga orang atau lebih.
Adapun kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama berbeda pendapat.
Ada yang menyatakan bahwa hal itu tidak bisa di katakan ijma’. Akan tetapi, menurut jumhur ulama hal itu
termasuk ijma’, karena mewakili kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa
itu.
2.Yang
Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat
dan yang lainnya tidak, meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak
bisa di katakan ijma, karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan
mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa
ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang di
maksud kesepakatan ijma’, termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka.
Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum
keseluruhan.
Sebagian ulama yang lain berpandangan
bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah, meskipun tidak di
kategorikan sebagai ijma’. Karena kesepakatan
sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil
shahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum. Dan jarang terjadi,
kelompok kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok besar.
3.Para
Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
Para ulama berbeda pendapat tentang
arti umat Muhammad SAW. Ada yang berpendapat bahwa yang di maksud umat Muhammad
SAW adalah orang-orang mukallaf dari
golongan ahl Al-halli wa Al-aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah
orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukallaf
adalah muslim, berakal, dan telah balig.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para
ulama selain umat Muhammad SAW tidak bisa di katakan ijma’. Hal itu menunjukkan
adanya umat para Nabi lain yang berijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW
tersebut telah di jamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan
suatu kesalahan.
4.Dilakukan
Setelah Wafatnya Nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi
masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para
sahabat yang di pandang baik, dan itu di anggap sebagai syari’at.
5.Kesepakatan
mereka harus berhubungan dengan syari’at
Maksudnya, kesepakatan mereka
haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at seperti tentang wajib,
sunah, makruh, haram dan lain-lain. Hal itu sesuai dengan pendapat Imam
Al-Ghazali yang menyatakan bahwa kesepakatan
tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat
Al-juwaini dalam kitab Al-Warakat’, Safiudin dalam Qawaidul usul, Kamal bin
Hamal dalam kitab Tahrir, dan lain-lain. Adapun mengenai masa atau zaman, para
ulama ada yang memasukkannya sebagai syarat ijma’. Sedang Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jam’ul Jawami mengartikan
zaman dalam definisi ijma’ di atas dengan zaman mana saja.
E. KEMUNGKINAN
TERJADINYA IJMA’
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin
sejak zaman Rosulullah SAW. sampai sekaran, dihubungkan dengan kemunginan
terjadinya ijma’ maka ijma’ dapat dibagi atas tiga periode yaitu:
1. Periode
Rosulullah SAW.
2. Periode
kholifah Abu Bakan as siddiq dan kholifah Umar bin Khottob,
3. Dan
periode selanjutnya
Pada masa Rosulullah SAW. beliau merupakan sumber hukum.
Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al
quran yang telah diturunkan dan hadits yang telah disapdakan jika mereka tidak
menemukan dalam sumber itu, maka langsung menanyakan pada Rosulullah adakalanya
langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al quran diturunkan oleh Allah
SWT. setelah Rosulullah SAW. wafat, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya,
namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al quran dan al
hadits. Jika ada suatu kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum,
maka berijtihad tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma’.
Seandainya ada kemungkinan itu terjadi pada masa kholifah Abu bakar, kholifah
Umar.
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Ijma’
tidak diperlukan pada masa nabi Muhammad SAW.
2. Ijma’
mungkin terjadi pada masa kholifah Abu Bakar, kholifah Umar bin Khottob dan 6
tahun pertama kholifah Usman dan setelah 6 tahun kedua pemerintahan kholifah
Usman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun
yang telah ditetapkan diatas mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu
serta luasnya daerah yang berpenduduk islam.
F. MACAM-MACAM
IJMA’
Ditinjau dari segi
Qath’i (pasti) dan Zhanni (dugaan)nya dalalah, Ijma’ dibagi menjadi 2 macam,
yaitu :
1. Ijma’
Qath’iyud dalalah terhadap
hukumnya, yakni hukum yang dihasilkan dari
Ijma’ ini adalah Qath’i, jadi tidak ada jalan lain untuk menetapkan hukum peristiwa
itu berbeda dengan hukum hasil Ijma’ tersebut dan tidak ada jalan lain untuk
berijtihad lagi terhadap peristiwa yang telah ditetapkan oleh Ijma’ itu. Ijma’
yang Qath’iyud dalalah itu adalah Ijma’ Sharih.
2. Ijma’ Zhanniud dalalah terhadap hukumnya,
yakni hukum yang dihasilkan dari Ijma’ ini adalah Zhann
(dugaan saja) dan peristiwa yang ditetapakan hukumnya berdasar Ijma’ ini masih
mungkin bisa dijadikan Ijtihad oleh Mujtahid lain. Sebab ia baru merupakan
hasil dari sebagian Mujtahid, bukan seluruh Mujtahid. Ijma’ macam kedua ini
adalah Ijma’ Sukuti. [5]
Macam-macam ijma’ bila dilihat dari
cara terjadinya ada dua macam yaitu:
IJMA’ SHARIH
Maksudnya semua mujtahid
mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul di suatu tempat kemudian
masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin di ketahui
ketetapan hukumnya. Setelah itu mereka menyepakati salah satu dari berbagai
pendapat yang mereka keluarkan tersebut.
Selain itu bisa juga pada suatu masa
timbul suatu kejadian, kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang
kejadian. Mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid pertama. Dan
mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah di fatwakan tersebut, begitu
seterusnya sehingga semua mujtahid menyepakati pendapat tersebut.
IJMA’ SUKUTI
Adalah pendapat sebagian ulama tentang
suatu masalah yang di ketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam
tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti
di katakan sah bila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini:
1. Diamnya
para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau
penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya kesepakatan yang
di lakukan oleh sebagian mujtahid maka tidak di katakan ijma’ sukuti, melainkan
ijma’ sharih.
2. Keadaan
diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa di pakai untuk memikirkan
permasalahannya, dan biasanya di pandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
3. Permasalahan
yang di fatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang
bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Adapun tentang permasalahan yang
tidak boleh di ijtihadi atau yang bersumberkan dalil-dalil qath’i, apabila
seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa di dasari dalil yang kuat,
sedangkan yang lain diam, hal itu tidak bisa di sebut ijma’.
Ijma’ macam
pertama menurut jumhur adalah Ijma’ Haqiqi dan menjadi sumber hukum
syari’at. Sedang Ijma’ macam kedua adalah Ijma’ I’tibari (masih
relatif). Sebab orang yang berdiam diri itu belum tentu kalau ia setuju. Karena
itu kedudukan Ijma’ macam kedua ini masih diperselisihkan. Jumhur menetapknnya
bukan sebagai Hujjah, lantaran masih dianggap sebagai pendapat
perseorangan.akan tetapi Ulama Hanafiah berpendapat bahwa Ijma’ Sukuti itu
dapat dijadikan Hujjah, apabila Mujtahid itu berdiam diri setelah disodorkan
kepadanya peristiwa itu beserta pendapat Mujtahid lain yang telah berijtihad
dan telah cukup pula waktu untuk membahasnya serta tidak didapati suatu
petunjuk bahwa dia bediam diri itu karena takut atau mengambil muka.
Dari segi
lain Ijma’ dapat dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya Ijma’ umat, Ijma’
para Sahabat dan Ijma’ empat orang Sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, dan
‘Ali. Sedangkan Ijma’ Syaihaini adalah
Ijma’ dua orang Sahabat besar yaitu Umar dan Abu Bakar yang dapat
dijadikan sumber Fiqih. (Drs. H.M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqih dan
Ushul Fiqih, (Surabaya : Bina Ilmu,1990). Segolongan Ulama’ menjadikan
persesuaian Faham Abu Bakar dan Umar sebagai Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah
berdasar kepada Hadits :
اِقْتَدَواْ
بِاالَّذِيْنَ بَعْدِى : اَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ ( رواه التّرمذي )
Artinya : “ Ikutilah dua orang sesudahku : Abu Bakar dan
Umar. (H.R. At- Turmudzi).[6]
Namun Ijma’
penduduk Kota Madinah hanya dapat dijadikan
dalil oleh mazhab Hanafi, sedangkan Ijma’ Al ‘itrah dapat
dijadikan dalil oleh mazhab Syi’ah.[7]
Macam-macam
ijma’ di tinjau dari segi masanya dapat di bagi menjadi dua: 1. Zaman khalifah
yang empat dan 2. Zaman sesudahnya.
1.
Ijma’ sahabat yang di maksud ialah zaman khalifah Abu Bakar,
Umar, Usman dan Ali. Ijma’ mereka ini jelas dapat di jadikan hujjah tanpa
diperselisihkan orang lagi sebab Nabi sendiri memerintahkan sebagaimana
sabdanya yang artinya
“Hendaklah kamu berpegang kapada
cara-caraku dan cara-cara Khulafaur Rasyidin.”
2.
Zaman sesudah Khulafaur Rasyidin, yaitu tatkala Islam telah
meluas dan para fuqaha sahabat banyak pindah ke negeri islam yang baru dan
telah timbul fuqaha tabi’in yang tidak sedikit, di tambah lagi dengan
pertentangan politik maka pada zaman inilah sukar di bayangkan dapat terjadinya
ijma’. Kalau sampai zaman tabi’in saja, sudah sukar akan terjadi ijma’,
terlebih lagi zaman sekarang saat para ulama telah tersebar luas ke seluruh
pelosok. Sedang sahnya ijma’ ialah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad.
Ijma’ yang terjadi pada zaman
sekarang ini, tidak berbeda dengan ijma’ dari keputusan musyawarah yang di
ambil oleh para ulama yang mewakili semua lapisan masyarakatnya untuk
membicarakan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka itulah yang di namai ulil
amri atau ahlul halli wal’aqdi. Mereka di beri hak oleh syari’at Islam untuk
membuat undang-undang yang belum terdapat dalam syara’.
Keputusan mereka ini wajib ditaati
dan dijalankan selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas,
tetapi kalau berlawanan dengan nash syari’at betapa dan bagaimanapun juga keputusan
itu tetap batal.
G. syarat-syarat ahli ijma’
ijma’ merupakan kesepakatan hukum yang disimpukan oleh para mujtahid sebagai jalan keluar bagi permasalahn – permasalahan keagamaan setelah wafatnya nabi muhammad. Ahli ijma’ (mujtahid) harus memenuhi kriteria yang telah menajdi kesepakatan para ulama’ untuk menetapkan hukum[8] , diantaranya :
1. Harus terdiri dari umat Nabi Muhammad SAW.
para ulama’ berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad SAW. adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl al-halli wa al-aqli, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukallaf adalah sampainya pada batas dibebankan hukum terhadapnya.
ijma’ merupakan kesepakatan hukum yang disimpukan oleh para mujtahid sebagai jalan keluar bagi permasalahn – permasalahan keagamaan setelah wafatnya nabi muhammad. Ahli ijma’ (mujtahid) harus memenuhi kriteria yang telah menajdi kesepakatan para ulama’ untuk menetapkan hukum[8] , diantaranya :
1. Harus terdiri dari umat Nabi Muhammad SAW.
para ulama’ berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad SAW. adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl al-halli wa al-aqli, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukallaf adalah sampainya pada batas dibebankan hukum terhadapnya.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para
ulamak selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan ijma’. Hal ini menunjukan
bahwa adanya umat lain selain umat nabi Muhammad SAW. yang melakukan ijma’.
Adapun ijma’ umat nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak
mungkin ber-ijma’ untuk melakukan kesalahan.[9]
Oleh sebab itu , ijma’ (kesepakatan) yang bisa dijadikan
sebagai hujjah hanyalah kesepakatan umat Nabi Muhammad SAW, sebab Allah telah
menjaga mereka dari berbuat salah dan mereka dianggap sebagai umat pilihan yang
penuh keadilan. Hal ini sesuai dengan
ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai berikut :
“ wakadzalika ja’alnakum ummatan wasaton “.
“ wakadzalika ja’alnakum ummatan wasaton “.
Artinya: dan
demikianlah kami telah menjadikan kamu sekalian ( umat islam ), umat yang adil
dan pilihan.
“ la tajtami’u ummati ala dalalatin”
artinya: umatku tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan [10]
artinya: umatku tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan [10]
Dua dalil diatas adalah tuntunan
bagi kita bahwa syrat diterimanya sebuah ijma’ adalah dengan syarat mujtahid
tersebut harus dari kalangan umat Nabi Muhammad SAW. yang kredibilitasnya sudah tersirat dalam
hadits dan ayat diatas. Sehingga, nabi
memberi keleluasaan bagi kita untuk melakukan ijtihad dalam memberikan solusi
atas permasalahan keagamaan saat ini.[11] Hadits
diatas memberikan penentuan khusus pada umat Nabi Muhammad SAW. yang tidak
dimiliki oleh umat lainnya. Dengan kata lain, umat Nabi sebelum Nabi Muhammad
SAW. tidak boleh menjadi seorang mujtahid atau ahli ijma’ .
2. Harus
beragama islam.
Tidak mungkin dalam penetapan suatu
hukum dilakukan oleh selain umat islam. Karena , mereka tidak mempunyai
pemahaman yang benar tentang keislaman. Bukan penyelesaian yang didapat tapi
distorsi yang akan menyesatkan umat. Seperti yang disinggung oleh Allah SWT.
Bahwasanya kaum musyrik tidak akan pernah puas sebelum umat muhammad mengikuti
jalan mereka.[12]
Banayak kalangan
orientalis-missionaris yang berusaha menyesatkan pemahaman hukum islam dengan
memberikan stigma keliru kepada umat islam yang tujuan utamanya adalah untuk
mengikis keimanan dan keislaman mereka, serta berusaha menfitalisasi
hukum-hukum islam dengan penyalah pahaman orientalis. Ini juga sebagai
tantangan dan pekerjaan rumah bagi kita selaku umat islam untuk meluruskan
pemahaman umat yang buta akan hukum islam .Nabi Muhammad SAW. bersabda:
“La
walakinnakum gutsaais saili yujalu alwahnu fii qulubikum wayunzau al ro’bu min
qulubi aduwwikum lihubbikum al-dunya wa karaahiyatikum
almaut”
Artinya:
Tidak, akan tetapi kalian seperti
buih air bah. Kelemahan muncul dalam hati kalian dan rasa takut hilang dari
hati musuh kalian karena kecintaan kalian terhadap dunia dan ketakutan kalian
terhadap kematian.[13].
3. Harus
baligh
Baligh menjadi syarat bagi ahli
ijma’ karena pada saat itu manusia telah bisa berfikir dengan jernih ( bisa
membedakan antara yang benar dan yang salah ). Seperti kita ketahui bahwa
baligh itu adalah sampainya seseorang pada kewajiban hukum yang telah
disyariatkan bagi umat islam pada umumnya. [14]sehingga
penggunaan kebaligan seseorang akan meningkatkan kualitas serta kesadaran yang
tidak didasari oleh ego dalam pemetaan hukum islam. Standarisasi baligh juga
terdapat beberapa klarifikasi yang mana, tidak semua orang yang telah sampai
pada tingkat kebalighan bisa menjadi mujtahid. Akan tetapi, seorang mujtahid
juga harus memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
4. Harus
berakal sehat.
Syarat yang tidak boleh lepas dari
seorang mujtahid adalah memiliki akal sehat, bukan hanya kesehatan dalam segi
lahiriyah saja tapi lebih pada sifat kejelekan dari kefasikan seseorang.
Seperti halnya sabda Nabi Muhammad SAW. “
qolam itu terangkat dari tiga perkara: orang tidur sampai bangun, orang yang
lupa sampai sadar, dan orang yang gila sampai sembuh.” Dari hadits diatas
bisa kita simpulkan bahwa tidak diterima ibadah dan tak tercatat dosa orang
yang gila atau orang yang tidak berakal sehat, dan itu menjadi dasar pemahaman
bahwa segala sesuatu yang keluar , baik perkataan, perbuatan dari orang yang
tidak mempunyai kesadaran adalah ditolak dan tidak bisa diterima sebagai kaidah
hukum. Juga termasuk dari rusaknya akal sehat adalah bentuk pemikiran yang
telah dikuasai oleh menset negatif.
Meskipun tak ayal maraknya kalangan yang mengatas namakan
satu ajaran yang didalamnya terdapat sebuah pemikiran keliru dari orang yang mempunyai
keterbelakangan mental terutama pengaruh lingkungan yang terlalu berlebihan
yang dia anggap sebagai sebuah kemusyakkatan atau kemudhoratan, sehingga,
banyak bermunculan paham atau dogma hukum yang bersumber dari keterbelakangan
sosial atau bentuk deskriminasi beberapa golongan. Seperti buku “gara-gara
ulamak” dimana dalam buku itu terdapat beberapa kalimat yang berisi
pemberontakan kepada para ulamak. Karena menurut pendapatnya ulamak hanya ingin mendapatkan popularitas
dengan berkedokkan agama dari keterlibatan mereka dalam pembentukan dan dengan
cara yang seperti itu pula mereka ingin membuat sekat-sekat yang mampu
menghapus kemurnian al-Quran sebagai sumber hukum islam. Dua hal ini adalah
jenis dari rusaknya akal sehat.
5. ahli
dalam istimbat hukum.
Kata ahli yang disebutkan diatas
adalah tingginya pemahaman tentang kaidah-kaidah dasar dari hukum islam serta
rangcangan pembentukannya. Seorang akan bisa menjadi mujtahid dengan
perbandingan dari segi keilmuan yang didapat dari berbagai jenis ilmu yang
menjadi pendukung dari pembentukan hukum ijma’ tersebut. Seperti hafalan serta
pemahaman hadits dan al-Quran, serta ilmu-ilmu lain seperti ulumul hadits,
ulumul quran, tafsir, dll. Karena semua itu adalah bentuk persyaratan sehingga
bisa dikatakan orang yang ahli dalam istimbat
hukum.[15]
6. para ahli ijma’ harus berada pada zaman sesudah nabi
Muhammad SAW.
Ijma’ itu tidak terjadi pada zaman ketika nabi Muhammad
SAW. hidup, karena nabi setia
menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu
dianggap sebagai syariat.[16]pengetahuan
keagamaan pada masa nabi sangat jelas dan tidak memerlukan ijmak sebagai
tambahan tuntunan, karena nabi sebagai sumber pemetaan hukum akan memberikan
penyelesaian hukum-hukum islam yang menjadi tugas nabi untuk memberikan
penjelasan hukum melalui
hadits-haditsnya. Setelah nabi wafat, beliau memberi warisan yang harus dijaga
oleh umat islam, yaitu al-Quran dan hadits sebagai dasar dari tatanan agama
islam.
Semakin bergulirnya waktu, manusia dihadapkan oleh berbagai
permasalahan-permasalahan ubudiyah yang tidak secara jelas dijelaskan oleh
al-Quraan dan hadits, sehingga masih membutuhkan penafsiran dan beberapa
pemetaan yang lebih luas dalam memberikan penyelesaian untuk masalah masalah
tersebut.
Lima syarat diatas adalah kriteria-kriteria yang harus
dimiliki oleh seorang mujtahid secara menyeluruh, maksudnya, seseorang akan
dikatatkan seorang mujtahid atau bisa membentuk tatanan hukum dengan mencukupi
dari ketentuan-ketentuan itu dengan tidak meninggalkan satu syarat pun dari
lima syarat tersebut. Kriteria ini menjadi tolak ukur yang bukan hanya berlaku
secara khusus. Akan tetapi,menjadi keumuman yang bisa diterima oleh siapa pun.
Hal ini tak lebih hanya sebagai pelindung perisai dan pedang islam dalam
menghadapi tantangan zaman, dan gempuran para pemuja setan. Selain hal itu
kriteria ini juga memberikan gairah dalam bermanifestasi pahala untuk
mendapatkan kebenaran yang hakiki.
Seperti yang dijelaskan diatas, ijma’ memberikan peran yang
sangat penting untuk memberi jalan yang seolah buntu untuk dijelaskan dengan
al-Quran dan hadits. Sehingga, memerlukan adanya sumbangsih penafsiran
para ulama’ untuk mendapatkan istimbat
hukum yang bisa diambil oleh umat islam. Banyak pengertian ijma’ yang berusaha
didistorsikan dengan pemahaman sesat dan pengaruh dalam pemahaman yang sengaja disebarluaskan
agar menjadikannya lebih bisa memanusiakan agama islam. Paradigma tersebut
menjadi dalih mereka dalam menyesatkan pemahaman umat islam tentang arti
memanusiakan agama. Hal ini menjadi dasar akan penolakan mereka dalam
pemanusiaan agama. Menutut mereka identitas ideologi keislaman yang akan
terhapuskan dengan indikasi kerja manusia yang relatif.
Sebagai salah satu usaha mereka adalah dengan merekrut
anggota dengan melakukan pemurnian akal dengan berbaur dan memberi masukan
keagamaan yang tidak pernah mereka sangka. Maraknya pemurnian ideologi baru
yang dijadikan landasan pemikiran mereka yang sengaja disesatkan. Hanya dalil
aqli dan naqli yang menjadikan dasar para ulama’ dalam keleluasan mereka untuk
berfikir dan berfiir produktif.
H. Obyek
Ijma’
Obyek Ijma’ adalah semua
peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-qur’an dan al-hadist.
Peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah ghairu mahdah (ibadah
yang tak langsung di tujukan kepada Allah SWT.) Bidang Muamalat, bidang
kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi
tidak ada dasarnya dalam al-qur’an dan al-hadist. Dan sesuatu yang tidak ada di
dalan Nash[17]
.
Terkait inventarisasi itu, ibnu
Hazm menyebutkan, di bidang ibadah kesepakatan ulama antara lain menyangkut bab
bersuci ihwal hukum menggunakan air mengalir. Misalnya, ulama sepakat boleh
dipergunakan selama tidak tercampur najis yang mengubah kesuciannya. Hal yang
sama juga berlaku untuk status air yang mengendap. Jika volume air banyak
selama tidak ada barang najis yang mengubah warna, rasa, dan baunya, ulama
sepakat air itu suci dan mensucikan.
Di sepakati pula, benda cair
yang boleh di gunakan sebagai media berwudhu’
hanya air dan anggur. Bagi yang berhalangan tidak diperbolehkan
menggunakan air untuk berwudhu’ seperti
akibat sakit, maka ijma’ mengatakan sah dan boleh bertayamum. Terkait dengan bilangan berwudhu’ atau
tayamum, di sepakati tak ada makna apapun di atas jumlah bilangan tiga kali
mengusap ataupun membasuh. Dalam hal shalat, beberapa konsekuen yang berhasil
dihimpun oleh ibnu Hazm ialah :
Ø Shalat
lima waktu
Bilangan
rakaat shalat subuh, Misalnya-baik ketika kondisi aman maupun krisis, seperti
dalam kondisi perang dan bencana, bepergian ataupun tidak, jumlahnya tak akan
pernah berubah yakni tetap dua rakaat. Tidak boleh menunda shalat di penghujung
waktu dengan sengaja, sekalipun boleh di tunaikan dengan kondisi dan kemampuan
fisiknya, seperti duduk, berbaring, atau dengan mengegerakkan isyarat anggota
tubuh. Demikian halnya dengan kewajiban menghadap kiblat bagi yang memungkinkan
dan mengetahui arahnya, selama dalam kondisi aman dan tidak berada di suasana
krisis[18].
Menyangkut
muamalat, kesepakatan yang di sebutkan
oleh ibnu Hazm antara lain tentang
hukum barang titipan (Wadiah).
Setiap pihak yang di berikan amanah barang titipan wajib mengembalikannya.
Apabila barang itu digunakan untuk sebuah transaksi, misalnya digadaikan atau
di sewakan, maka tetap mempunyai keharusan menyerahkan penuh seperti sedia kala
atau seperti semula. Ketika barang yang di titipkan telah di kembalikan, secara
otomatis yang bersangkutan tak lagi mempunyai tanggungan apapun.
Tentang jual beli, di sepakati
beberapa hal diantaranya barang yang di perjual belikan adalah hak milik
penuh. Jika tidak, di seoakati transaksi dinyatakan tidak sah.
Selanjutnya dalam soal jual beli, kedua belah pihak harus mengetahui barang
yang di maksud baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Transaksi jual beli
di anggap tidak sah jika dilakukan atas dasar paksaan atau dalam kondisi tak
sadar seperti sedang mabuk. Barang yang di jadikan obyek transaksi tidak boleh
sesuatu yang di haramkan termasuk perkara najis.
Menurut Imam
Syafi’ie obyek ijma’ adalah sesuatu yang bisa sah dijadikan sebagai obyek
ijma’. Dalam kitab Al-Umm imam Syafi’ie berkata “Ijma’ adalah Hujjah atas segala
sesuatu, karena tidak mungkin ada kekeliruan dalam ijmak”.
v Ijma’
di abad modern
Apakah
mungkin meneliti ijma’ di masa sekarang?[19]
Menurut
imam Syafi’ie, penelitian ijma’ di masa sekarang ini, bukan merupakan sesuatu
hal yang mustahil atau susah. Selagi ada niat yang suci, tekad yang bulat,
keinginan yang kuat, dan metode yang berpola di kalangan para ulama’ dan ahli
fiqih, maka halangan yang melintang dan menghadang tercapainya kesepakatan para
ahli fiqih dan para ulama’ dulu untuk sampai pada ijma’ bisa di hilangkan
dengan pola kerja sama. Masalah utama yang mereka hadapi adalah sulitnya
menjalin komunikasi di antara mereka dulu.
I. Kehujjahan
Ijma’ menurut Pandangan Para Ulama’
Ada beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’, misalnya apakah ijma’ itu
syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan ushul fiqih atau bukan? Bolehkah
kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat yaitu:
·
Al-Bardawi
berpendapat bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah,
bahkan dalam syarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara
mutlak.
·
Al-Amidi berkata
bahwa para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib di
amalkan. Sedangkan pendapat itu bertentangan dengan syi’ah khawarij dan Nizam
dari golongan Mu’tazilah.
·
Al-Hijab berkata
bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat nizam, khawarij, dan syi’ah.
·
Ar-Rahawi
berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah.
·
Dalam kitab
Qawaidzul Ushul dan Ma’aqidul Ushul dikatakan bahwa ijma’ itu adalah hujjah
setiap masa.
·
Daud berpendapat
bahwa ijma’ itu terjadi hanya pada masa sahabat.
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat
dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih
jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan di tinjau berdasarkan pembagian
ijma’ itu sendiri.
1.Kehujjahan Ijma’ Sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara
qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’
pada suatu permasalahn maka ia akan menjadi hukum qath’i yang tidak boleh di
tentang, dan menjadi masalah yang tidak boleh di ijtihadi lagi.
Ø Dalil-Dalil
yang di keluarkan oleh jumhur
Jumhur mengeluarkan beberapa dalil untuk
memperkuat pendapat tentang kehujjahan ijma’ antara lain :
Pertama, Firman Allah SWT, Surah
An-Nisa’ ayat 115 yang artinya :
“ Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah di kuasainya itu dan kami
masukan ia ke dalam jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah
ancaman Allah terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin.
Disebutkan bahwa mereka akan di masukan ke dalam neraka jahanam dan akan
mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukan bahwa jalan yang di
tempuh orang-orang yang tidak beriman itu adalah bathil dan haram di ikuti.
Sebaliknya, jalan yang di tempuh oleh orang-orang mukmin adalah hak dan wajib
di ikuti.
Itulah arti tekstual ayat, yang sesuai
dengan azbab nuzulnya, bahwa ayat itu turun berkaitan, dengan Bashir bin
Ubairiq yang masuk islam. Tetapi kemudian ia mencuri. Maka nabi memerintahkan
untuk memotong tangannya, tetapi ia bisa kabur ke mekah dengan memanfaatkan
kelengahan orang-orang beriman. Di mekah, dia juga berusaha untuk mencuri
dengan cara melubangi dindingnya, dan ia pun mati dalam keadaan kafir.
Dengan demikian, jelaslah bahwa ayat di
atas bukan dalil tentang ijma’. Pengarang At-Tahrir berkata bahwa, imam Syafi’i
meng-istinbath hukum dari dalil di atas dan menyatakan bahwa dalil itu
menunjukan kehujjahan ijma’.
Kedua,
firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 143 yang artinya :
“Dan
demikian (pula) kami telah menjadikan kamu umat (umat islam) umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia.”
Ayat tersebut di kemukakan oleh
Al-Amidi. Kehujjahan dari ayat tersebut adalah keadilan mereka (para mujtahid)
yang menjadi hujjah bagi manusia untuk menerima pendapat mereka. Seperti halnya
menjadikan Rasul sebagai hujjah dengan menerima sabdanya. Dengan mengartikan
seperti itu, jelas bahwa pendapat mereka merupakan hujjah bagi yang lainnya.
Ketiga,
firman Allah SWT dalam surah Al-Imran ayat 110 yang artinya :
“kamu adalah
umat yang terbaik yang di lahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar.”
Menurut pemberi syarah kitab
Al-Baidawi bahwa Allah SWT. Memberitahukan keutaman mereka dengan menggunakan
isim tafdil. Karena arti khair itu sama dengan tafdil. Hal itu menunjukan bahwa
kesepakatan mereka juga merupakan haq. Kalau tidak menunjukan haq, mereka pasti
akan memerintahkan berbuat kejelekan dan melarang berbuat baik. Bila perbuatan
mereka seperti itu berarti sama sekali tidak ada unsur kebaikannya bahkan
menyalahi Nash.
Keempat,
firman Allah SWT dalam surah Al-Imran ayat 103, yang artinya :
“...Dan
berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai...”
Kehujjahan ayat tersebut bahwa Allah
SWT melarang untuk berpecah belah. Sedangkan menentang ijma’ adalah salah satu
bentuk perpecahan, sehingga jelas sekali bahwa hal itu di larang. Dengan demikian,
ijma’ itu merupakan hujjah sebagaimana larangan untuk mengingkarinya.
Kelima,
firman Allah SWT, surah An-Nisa’ ayat 59 yang artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
di antara kamu...”
Kehujjahan ayat di atas adalah bahwa
adanya pertentangan merupakan syarat di kembalikannya permasalahan kepada Allah
dan Rasul-Nya. Dengan demikian, syarat tersebut tidak akan ada bila telah
terjadi kesepakatan terhadap hukum yang di ambil dari kitab dan sunnah. Oleh
sebab itu, tidak di ragukan lagi bahwa ijma’ itu merupakan hujjah.
Keenam,
Hadist-hadist yang menunjukan terjaganya ijma’ islam dari kesalahan bila
bersepakat dalam satu perkara, di antaranya hadist-hadist di bawah ini yang
artinya :
“kekuatan Allah
berada pada jamaah, barang siapa menguatkannya, maka ia telah menyempitkan
dirinya dari neraka.”
“Sesungguhnya
Allah tidak mengumpulkannya ijma’ pada kesesatan.”
“Tidak akan
berkumpul ijma’ pada hal yang salah.”
“Tidak akan
melihat kaum mukmin kepada kebaikan, kecuali Allah pun menganggapnya baik.”
Semua hadist di atas di riwayatkan
oleh para perawi tsiqat, meskipun ada sebagian yang meruapak hadist ahad, namun
bisa di kategorikan hadist mutawatir, yakni menjaga ijma’ islam dari kesalahan.
Sedangkan, mutawatir ma’nawy pada hakikatnya sama dengan mutawatir lafdzi.
Ø Dalil-Dalil
yang di keluarkan Nidzam dan para pengikutnya.
Ibrahim bin
nidzam, penentang adanya ijma’ dan para pengikutnya, memberikan dalil-dalil
sebagai berikut :
Pertama,
firman Allah SWT, surah An-Nisa’ 59 yang artinya :
“Hai.
Orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulilamri di
antara kamu...”
Sesungguhnya
Allah SWT memerintahkan untuk mengembalikan segala bentuk pertentangan kepada
Allah adalah kembali kepada Al-Qur’an, sedangkan yang di maksud mengembalikan
kepada Rasul adalah mengembalikan kepada
Rasulullah sewaktu beliau masih hidup dan kepada sunnah kalau beliau wafat
Allah SWT tidak akan memerintahkan untuk mengembalikan kepada ijma’ mujtahidin.
Hal itu karena menunjukan bahwa ijma’ mereka tidak bisa di sentuh Hujjah.
Keterangan
di atas di jawab jumhur, bahwa ayat tersebut adalah hujjah bagi semua
(penentang ijma’) bukanlah Hujjah untuk kita. Ayat di atas telah mewajibkan
untuk mengembalikan berbagai ikhtilaf (pertentangan) kepada Allah dan Rasul.
Adapun Hujjah ijma’ dari pertentangan yang terjadi di antara kita wajib di
kembalikan kepada Al-Qur’an dan sunah Rasul. Mengamalkan perintah ayat di atas
menunjukan bahwa ijma’ itu hujjah. Berdasarkan ayat tersebut juga kita bisa
mengatakan bahwa ijma’ adalah Hujjah.
Kedua,
Ssungguhnya nabi Muhammad SAW ketika bertanya kepada muadz bin jabal tentang
dalil yang akan di jadikan sandarannya, tidak di sebutkan adanya ijma’ dan
Rasul telah menyepakatinya. Kalau ijma’ sebagai Hujjah maka harus ada ketetapan
hukumnya dari Rasul, menjaga Rasul tidak menetapkan adanya ijma’.
Kalau di
telaah secara teliti, dari kedua golongan yang bertentangan tentang kehujjahan
ijma’ tersebut, tidak ada yang dapat di pegang landasan hukumnya. Namun, yang
di anggap paling betul adalah dalil yang mewajibakn kepada kita untuk berpegang
pada ijma’ dan melarang untuk mengingkarinya.
B.Kehujjahan
ijma’ Sukuti
Ijma’ Sukuti
telah di pertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama’. Sebagian dari
mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai Hujjah, bahkan tidak menyatakan
sebagai ijma’. Diantara mereka adalah pengikut Maliki dan imam Syafi’ie yang
menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Sebagian
besar golongan Hanafi dan imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti
merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah
diamnya sebagian mujtahid lainnya bila memenuhi syaratnya ijma’ sukuti.
[1]
Prof. DR. Rachman Syafi’i, M.Ag, Iilmu
Ushul Fiqih,(Bansung: CV Pustaka Setia, 2010), Hal: 68
[2]
Ibid...... Hal: 69
[3]
Ibid...............
[4]
Zamakhsyari Mahendra, Syarah al-Warokot
fi Ulumi Usulul Fiqh,(Madura: Banyuanyar press2000), Hal: 43
[5] Prof.
Dr. H. Mukhtar Yahya, dkk, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami,
(Bandung : Al-Ma’arif,1986), hlm. 58-66.
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997), hal 21
[7] Drs. H.M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih, (Surabaya : Bina Ilmu,1990), hal 77
[8]
Ibnul Farkah, Tajuddin, syarakh
al-waroqot, (beirut , libanon, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah ,1971). Hal: 79
[9]
Prof. DR. Rachman Syafe’i, MA, ilmu ushul
fiqih,(Bandung, Pustaka Setia, 2010), Hal: 71
[10]
Hadits Imam Turmudziy, dari Ibnu Umar, Sunan
al-Turmdzi, (beirut , libanon, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah ,1971). hal :
305
[11]
Wahbah, ushul fiqh , , (beirut ,
libanon, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah ,1971). Hal : 524
[12]
Abdul Hamid, lathaif, (surabaya,indonesia,al-hidayah,
2000). Hal: 46
[13]
Imam Abu Abdillah bin Ahmad Al-Anshori Al-qurtubi, al-jami’ li ahkam al-qur’an ,(Darul fikr oman ) hadits No. 8.1 83
[14]
Lathaif, Loc-Cit.
[15]
Lathaif......, Ibid
[16]
Loc-Cit....ilmu ushul fiqh
[17]
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Ustmani, Ushul Fiqih (Jogjakarta:Media
Hidayah.2008)
[18]
Fathur-Rohman, Pembinaan Hukum Ilmu Ushul Fiqih Islam
(Bandung:Al-Ma’arif.1993)